Pada tulisan sebelumnya, saya menjelaskan tentang kehadiran pemerintah yang harus memenuhi kebutuhan anak kasus terorisme. Alasannya adalah, seorang anak dilahirkan bukan keinginan dirinya. Bahkan jika boleh memilih, tentu mereka tidak akan memilih untuk lahir dari Rahim seorang perempuan teroris, ataupun kelurga yang terjerat kasus teroris. Maka ketika ia lahir ternyata menjadi anak kasus terorisme, beban ganda dalam memikul masa depannya sangat mungkin tidak bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri.
Apalagi ketika mendapat stigma negatif dari masyarakat. Baik negara ataupun masyarakat sipil harus bisa melihat keberadaan mereka sebagai korban yang membutuhkan pendampingan dan edukasi keberlanjutan dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang manusia. Meskpun demikian, ia adalah orang yang kehilangan hak yang seharusnya ia dapatkan dari orang tuanya, hak apakah itu?
Kehilangan masa depan dan semua hidupnya Menurut Hurlock yang ditulis oleh Fitriyani, dkk: 2020 menjelaskan bahwa, kebutuhan anak-anak dibagi menjadi tiga, diantaranya: Pertama, kebutuhan fisik dapat dipenuhi apabila anak mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan umurnya, pemantauan tumbuh kembang, pemeriksaan kesehatan, pengobatan, rehabilitasi, imunisasi, pakaian, pemukiman yang sehat dan lain-lain.
Kedua, kebutuhan emosinal meliputi segala hubungan yang erat, hangat dan menimbulkan rasa aman serta percaya diri sebagai dasar bagi perkembangan selanjutnya. Ketiga, kebutuhan stimulasi atau pendidikan meliputi segala aktivitas yang dilakukan mempengaruhi proses berpikir, berbahasa, sosialisasi dan kemandirian seorang anak.
Ketiga kebutuhan tersebut bisa kita sebut tidak dimiliki oleh para anak kasus terorisme. Hal ini karena, kondisi orang tua yang tidak ada, baik itu meninggal karena bom bunuh diri. Ataupun mendapatkan hukuman atas perilaku yang dilakukan. Bahkan tewas karena hukuman mati yang dibeban kepada orang tua. Sehingga membuat seorang anak hidup membawa dosa asal dari orang tua. Tidak jarang, mereka mendapatkan perilaku yang kurang baik dari lingkungannya, dan mendapatkan stigma buruk yang membuat hidupnya merasa tidak sempurna.
Pada anak berumur 6-12 tahun, Berdasarkan hasil analisis, kebutuhan anak usia dasar meliputi enam aspek yaitu, Pertama kebutuhan fisiologis seperti makanan, minuman, wahana permainan dan sebagainya. Kedua, kebutuhan perlindungan dan rasa aman seperti lingkungan yang asri, aman dan damai. Ketiga, kebutuhan akan rasa kasih sayang dan perhatian. Keempat, kebutuhan akan penghargaan atas segala tindakan atau
prestasi.
Kelima, kebutuhan aktualisasi diri seperti menunjukan kemampuan (ability) atau bakat (talent) yang dimiliki. Keenam yaitu kebutuhan akan rasa sukses. Setiap individu dan tingkatan usia anak memiliki level kebutuhan yang berbeda-beda. Dikarenakan adanya perbedaan faktor usia, fisik, psikologi, keturunan dan lingkungan (Dian, 2022). Kebutuhan tersebut sangatlah berbeda dengan kebutuhan orang dewasa yang sudah menjalani beberapa fase hidup.
Pertanyaan yang sering muncul dalam kasus anak terorisme, siapa yang harus memenuhi kebutuhan itu ketika orang tua tidak bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhannya? Maka peran masyarakata sipil dan pemerintah serta lingkungannya dibutuhkan. Berdasarkan laporan C-Save (Civil Society Against Violent Extremism) menjelaskan bahwa Fenomena yang terjadi selama ini, anak yang berada dalam jaringan radikalisme/terorisme tetap dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dan begitu juga dengan jaringannya.
Belum terlihat secara jelas, upaya pemerintah memutus mata rantai anak- anak dari lingkungan jaringannya. Misalnya yang terjadi pada anak-anak dari orang tua yang terkena tindak pidana terorisme dan anak-anak dari pada deportan, anak-anak mereka tidak mendapatkan penanganan khusus yang semestinya. Padahal Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 pada pasal 59 ayat (1), (2) huruf k dan pasal 69B tentang Perlindungan Anak memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan penanganan khusus kepada anak dalam jaringan terorisme beserta penanganan apa yang harus dilakukan.
Barangkali, suatu waktu, jika kita cosplay jadi mereka, hidup sebatang kara, dan menjalani kehidupannya bersama anak deportan ISIS, kita justru tidak bisa membayangkan itu terjadi. Sakit, kepedihan, kesedihan menjadi satu yang harus diterima menjadi manusia. Apalagi ketika ternyata orang tuanya meninggal karena bom bunuh diri, ataupun sejenisnya, luka itu pasti dibawa sebagai trauma yang mendalam dalam kehidupannya.