Pola pikir ekstremisme dan radikalisme semakin mudah tersebar dalam era media sosial seperti sekarang ini. Namun, perlu dicatat juga bahwa proses radikalisme sendiri membutuhkan waktu. Tidak semuanya berproses cepat atau instan. Indikator terjadinya perubahan sudut pandang ke arah radikalisasi adalah ketika seseorang mulai percaya atau mendukung pandangan ekstrim. Dalam beberapa kasus, kemudian berlanjut dengan berpartisipasi dalam kelompok atau tindakan teroris.
Faktor pendorong paham ini sendiri amatlah beragam. Ekstremisme dapat dimotivasi oleh berbagai faktor, termasuk ideologi, keyakinan agama, keyakinan politik, dan prasangka terhadap kelompok orang tertentu. Bahkan seseorang dapat diradikalisasi dengan berbagai cara, dan dalam rentang waktu yang berbeda, mulai dari beberapa hari atau jam, atau mungkin perlu beberapa tahun.

Tren perekrutan gerakan radikalisme pun tak lagi hanya menyasar orang dewasa, namun juga kaum muda. Terlebih golongan pemuda dari 10 sampai 24 tahun yang merupakan seperempat populasi dari jumlah total umat manusia yang ada di dunia. Bahkan mereka merupakan mayoritas penduduk di banyak negara berkembang.
Melonjaknya populasi pemuda ini kemudian menciptakan celah bagi para ekstremis yang mendukung tindak kekerasan untuk terus merekrut anggota baru dari kalangan muda yang kondisinya kurang beruntung atau kehilangan hak dasar mereka. Tak hanya itu, anak-anak muda yang pernah mengalami kekerasan atau trauma masa kecil yang parah juga menjadi sasaran empuk kelompok radikal. Terutama untuk ditarik menjadi anggota baru.
Riset terbaru dari Rani Dwi Putri dan Najib Azca yang berafiliasi dengan Universitas Gadjah Mada memperlihatkan bahwa pola yang sama terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Salah satu rekrutan kelompok ekstremis Mujahidin Indonesia Timur, adalah anak keturunan pelaku teror yang ditembak mati oleh petugas kepolisian. Menyaksikan ayahnya meninggal di tangan aparat, sebagai keturunan yang masih hidup, sang anak hingga kini masih memiliki dendam. Serta dia selalu ingin meneruskan perjuangan ayahnya sebagai ‘mujahid’.
Situasi ini lalu dilihat sebagai peluang gerakan radikal di sana untuk melakukan regenerasi dengan cara menanamkan ideologi ‘jihad’ sejak dini kepada anak-anak anggota kelompok radikal yang telah tiada. Perekrutan anggota radikal dari kalangan anak-anak yang mengalami trauma atau menjadi saksi kekerasan aparat ditengarai karena mereka biasanya terisolasi dari lingkungan sosial. Tak hanya itu, bayang-bayang kekerasan saat kecil juga membuat mereka tak pernah menjalani hidup dengan bahagia.
Dalam banyak kasus, kombinasi kedua faktor tadi lalu memicu depresi berkepanjangan yang akhirnya berujung pada tumbuhnya bibit kekerasan dengan justifikasi pembalasan dendam. Selain itu, remaja memiliki risiko yang lebih besar karena mereka biasanya jauh lebih mandiri, berani mengeksplorasi hal-hal baru dan mampu mendorong batasan saat mereka tumbuh.
Lebih lanjut, lingkungan kelompok radikal merangsang mereka untuk menemukan lebih banyak hal yang relevan tentang identitas, keyakinan, dan rasa percaya diri yang mungkin tak mereka temui di lingkungan sosial masyarakat biasa. Pendekatan kelompok teroris kepada remaja dengan trauma masa kecil juga banyak ditemukan di Irak.
Mereka yang tergerak untuk menjadi ‘jihadis’ kebanyakan tinggal di daerah konflik, dan telah menjadi saksi banyak kematian, dari anggota keluarga hingga tetangga. Mereka mengenal Islam bukan dari pendidikan formal, tapi justru dari propaganda ISIS dan al Qaeda. Pengalaman personal tersebut kemudian diakumulasi oleh gerakan ekstremis untuk terus menumbuhkan perasaan kebencian kepada individu yang tidak sejalan dengan paham yang mereka anut.
Pusat Pengendalian Pencegahan Radikalisme di Amerika Serikat juga turut mengkonfirmasi bahwa anak-anak dan remaja yang memiliki pengalaman kekerasan pada masa lampau cenderung berisiko lebih tinggi untuk mengidap depresi dan kekurangan empati. Hal inilah yang selanjutnya meningkatkan kerentanan mereka untuk melakukan kekerasan dan direkrut menjadi anggota kelompok ekstremis dan kekerasan terorganisir.
Dampak trauma itu pun terus berlanjut terhadap tingkat kesehatan dan kesejahteraan anak-anak ini hingga seumur hidup. Sebab, paparan kekerasan pada anak usia dini dapat mengubah perkembangan biologis, merusak arsitektur otak, dan bahkan memengaruhi DNA mereka.
Tak heran, kondisi tersebut lalu menghasilkan siklus kekerasan yang terus berlanjut, termasuk dengan ditarik menjadi anggota kelompok radikal. Jika ingin siklus kekerasan ini berhenti, pencegahan secara komprehensif perlu dilakukan oleh kelompok berwenang. Tak hanya menyediakan konsultasi psikologis berkesinambungan, tapi juga perlu pendampingan dan konsolidasi sosial dengan lingkungan di tempat tinggal mereka berada.