Sebagai seorang anak, jika kita bisa memilih mau terlahir dari siapa, pasti, kita akan memilih terlahir dari kalangan tertentu. Entah itu orang kaya, kalangan bangsawan, ulama sekalipun, atau dari orang tua yang memiliki fasilitas yang berlimpah untuk memadai kebutuhan dan gaya hidup. Tapi sayangnya, hal itu bukan hak kita sebagai manusia, melainkan hak pregoratif Tuhan sebagai sang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak atas sesuatu.
Hal itu pula yang terjadi pada anak kasus terorisme. Menjadi seorang anak yang memiliki kasus terorisme, entah orang tuanya sebagai pelaku. Bahkan meninggal karena bom bunuh diri, ataupun sudah mengalami fase deradikalisasi. Seorang anak pasti akan mengalami stigma negatif dari masyarakat tentang perilaku yang sudah dilakukan orang tuanya.
Anak memiliki dosa asal yang disematkan oleh masyarakat karena orang tuanya adalah teroris. Padahal, dalam sejarah panjang perjalanan hidupnya, seorang anak pasti menjadikan orang tuanya sebagai role model dalam hidupnya. Maka ketika ternyata orang tuanya adalah seorang teroris, menjadi anak dari orang tua tersebut memiliki trauma yang cukup panjang dalam hidupnya, terlebih ketika orang tuanya meninggal.
Maka dari itu, nasi banak kasus terorisme adalah salah satu hal yang perlu diurus serius oleh pemerintah, termasuk masyarakat sipil untuk memenuhi kebutuhan anak agar bisa hidup sama dengan anak-anak yang lain. Lagi pula, anak merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat bermanfaat di masa depan. Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa: ”Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
Hak anak adalah menjadi hal yang menarik karena anak itu unik, ada bermacam- macam yang sangat perlu diperhatikan baik oleh orang tua maupun masyarakat tentang pemenuhan hak-hak anak terutama hak dasar bagi anak. Karena anak merupakan Individu yang utuh yang mempunyai asasi dan harus terpenuhi haknya. Dalam kasus anak terorisme, pemerintah nemiliki peran besar terhadap pertumbuhan dan perkembangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan mandat Undang- Undang No. 35 tahun 2014 perubahan atas Undang- Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 69B disebutkan, bahwa “Perlindungan khusus bagi anak korban jaringan terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (2) huruf k dilakukan melalui upaya: Pertama, Edukasi tentang pendidikan, ideologi dan nilai nasionalisme. Kedua, Konseling tentang bahaya terorisme. Ketiga, Rehabilitasi sosial dan Pendampingan sosial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), mengenai anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme, menunjukkan bahwa saat ini pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap anak-anak yang terlibat kasus terorisme masih disamakan dengan perlakuan terhadap orang dewasa yang terkena kasus terorisme.
Pola semacam ini perlu dikritik oleh kita sebagai masyarakat yang memiliki kemampuan yang cakap dalam melihat kebutuhan anak sebagai seorang korban. Bagaimanapun pemikiran yang dimiliki, pada mulanya ia adalah hasil dari didikam oleh orang tua. Maka dari itu, orang tuanyalah yang harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan.
Upaya deradikalisasi yang menjadi ruang BNPT dalam memberangus terorisme secara massif. Perlu memiliki formulasi yang cukup baik untuk mencari solusi agar anak-anak kasus terorisme tidak lagi mengakami perundungan serta merasa terasing oleh sosialnya. Bayangkan saja, ketika ada seorang anak kasus terorisme, mendapatkan stigma negatif dari lingkungannya, masyarakat, hingga sekolah. Kemudian ditambah dengan upaya deradikalisasi dari pemerintah disamakan dengan orang dewasa. Bukankah itu adalah ketimpangan yang sebenarnya?
Menjadi seorang anak tidak hanya membutuhkan makan dan pendidikan, ia juga membutuhkan sosok yang bisa mengayomi, mendidik serta membersamai dalam pemenuhan haknya untuk hidup selayaknya anak yang lain. Hal itu juga sesuai amanat Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 perubahan No. 23 Tahun 2002 pada pasal 59 ayat (1), (2) huruf k dan pasal 69B tentang perlindungan anak.
Pemerintah belum menjalankan amanat tersebut dengan komperehensif dan menyeluruh. Sehingga dibutuhkan kajian ulang dan berkelanjutan bagaimana memperlakukan anak kasus terorisme dengan mempertimbangkan kebutuhan anak dalam kehidupannya.