Ketika membicarakan ekstremisme, acap kali yang ada di kepala kita mengacu pada ekstremisme atas nama Islam. Hal ini disebabkan oleh bias pemberitaan media mainstream terutama di negara-negara Eropa dan Amerika yang terus memotret dan menggambarkannya secara berlebihan. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan efek domino di sana.
Ketakutan yang berlebihan dan kuran berimbangnya informasi di belahan barat tersebut menyebabkan semakin meningkatnya poros esktremisme lainnya, yaitu kelompok radikal sayap kanan. Dihimpun dari data the Center for Strategic and International Studies (2021), terungkap bahwa kelompok radikalisme sayap kanan di Amerika meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Mereka tidak hanya menyuarakan propaganda anti-Muslim tapi juga menyerukan kata-kata kebencian kepada warga kulit hitam dan para imigran. Bahkan realita memperlihatkan bahwa sejak 2015, ekstremis sayap kanan telah terlibat dalam 267 plot serangan yang mengakibatkan 91 nyawa melayang. Pada saat yang sama, serangan dan plot yang dianggap berasal dari pandangan sayap kiri menyumbang kasus lebih rendah, yakni 66 insiden yang menyebabkan 19 kematian.
Berbeda dengan asumsi kebanyakan, jumlah plot dan serangan teror domestik berada pada level tertinggi dalam beberapa dekade. Lebih lanjut, menurut Seth Jones, direktur proyek database di CSIS, sebuah organisasi nirlaba nonpartisan yang berbasis di Washington yang berspesialisasi dalam masalah keamanan nasional. Kebanyakan orang Amerika selalu beranggapan bahwa negaranya tak memiliki masalah berarti terkait dengan gerakan ekstremisme.
Mereka selalu melihat Afrika dan negara berkembang lainnya lah yang menjadi sumber masalah. Nyatanya problem tersebut justru sangat dekat dengan mereka. Oleh karena itu, Seth menyampaikan bahwa sangat penting bagi orang Amerika untuk memahami betapa besarnya ancaman gerakan ekstremisme domestik sebelum segalanya menjadi lebih buruk.
Apalagi, setelah melihat data di lapangan, ternyata ada lebih dari seperempat insiden yang menyebabkan kematian dalam satu dekade terakhir disebabkan oleh orang-orang yang menunjukkan dukungan untuk supremasi kulit putih atau mengaku menjadi pendukung ideologi itu.
Korbannya sendiri amat beragam: dari orang kulit hitam, Yahudi, imigran, individu LGBTQ, orang Asia, dan orang kulit berwarna lainnya yang telah diserang oleh ekstremis sayap kanan dengan menggunakan kendaraan, senjata, pisau, dan hingga diserang dan ditinju dengan tangan terbuka. Lokasinya bahkan bukan hanya di jalanan, tapi juga merambah ke institusi keagamaan– termasuk masjid, sinagog dan gereja dengan jamaah mayoritas kulit hitam.
Bahkan beberapa kejadian menargetkan klinik aborsi dan gedung pemerintah, tempat-tempat tadi telah diancam, dibakar, dibom, dan ditembaki selama enam tahun terakhir. Kenneth Robinson, pendeta dari Briar Creek Road Baptist Church di Charlotte – salah satu dari beberapa gereja yang didominasi jemaat kulit hitam yang diserang pada musim semi dan musim panas 2015 – mengatakan bahwa mereka masih kerap dilandakekhawatiran saat beribadah.
Ia mengungkapkan bahwa mereka masih dibayangi trauma. Namun di satu sisi, ia mengungapkan optimismenya di tengah-tengah ketakutan akan serangan selanjutnya, “kami terus mendorong diri untuk menatap masa depan, meski itu tidak mudah.” Jika dibandingkan, sebenarnya baik serangan sayap kiri dan sayap kanan sama-sama menunjukkan tren peningkatan.
Hanya saja, kelompok sayap kanan jauh lebih agresif dalam menunjukkan ‘taringnya’ akhir-akhir ini. Meski sempat menunjukkan penurunan setelah tindakan keras federal dalam menanggapi pemboman Oklahoma City pada tahun 1995. Oh ya, perlu diketahui bahwa dalam serangan itu, Timothy McVeigh meledakkan sebuah bom truk di luar gedung federal, yang menewaskan 168 orang.
Dan, kasus ini bisa dikatakan sebagai serangan teroris domestik paling mematikan dalam sejarah Amerika. Sayangnya, setelah sempat melemah sekian tahun lamanya, ekstremisme sayap kanan mulai mengumpulkan momentum baru setelah terpilihnya Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di negara itu. Menurut penilaian intelijen Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat pada April 2009, ia berpendapat bahwa ekstremis sayap kanan telah memanfaatkan pemilihan presiden Afrika-Amerika pertama.
Sebagai suatu cara untuk memfokuskan upaya mereka dalam merekrut anggota baru, memobilisasi pendukung yang ada, dan memperluas cakupan dan daya tarik mereka melalui propaganda-propaganda yang menyulut polarisasi. Tak heran, hingga kini gerakan mereka terus menerus bertumbuh dan bahkan mendapat suntikan baru ketika Donald J. Trump menjadi presiden pada periode lalu.