Belajar Toleransi dari Hagia Sophia

Dalam mempelajari sejarah, hal yang paling utama adalah kita harus masuk ke lorong waktu. Menyesuaikan dan memahami kondisi yang berlaku saat peristiwa tersebut terjadi. Termasuk dalam memahami peristiwa pengalihfungsian Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Siapa pemilik Hagia Sophia sebenarnya? Dan benarkan Sultan Muhammad al-Fatih pernah membeli Hagia Sophia?

Siapa Pemilik Hagia Sophia?

Belajar Toleransi dari Hagia Sophia

Hagia Sophia dibangun pada abad ke-3 oleh kekaisaran Bizantium pada peradaban Romawi. Beberapa abad sebelum lahirnya peradaban Islam. Terletak di Istanbul Turky yang saat itu berada dalam kekuasaan peradaban Romawi dan didominasi oleh Umat Nasrani.

Di awal abad 14 setelah melakukan pengepungan selama 9 bulan, Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menerobos benteng pertahanan Bizantium. Selain memang kerasnya perjuangan al-Fatih dan pasukannya saat itu, perselisihan paham agama antara Roma-Katolik di bawah Paus dan paham Kristen orthodox di Konstantinopel juga menjadi salah satu pemicu keberhasilan al-Fatih.

Saat pasukan al-Fatih berhasil menerobos Konstantinopel, al-Fatih turun dari kudanya, bersujud ke bumi dan menggenggam tanah yang dibalurkan ke kapal sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan agar dihindarkan dari sifat sombong. Peristiwa ini terjadi tepat di depan gereja Hagia Sophia. Diwaktu yang sama, didalam gereja tersebut ada banyak umat sipil Nasrani yang bersembunyi karena takut dengan serangan. Mereka berkeyakinan, pun jika harus mati dalam pertempuran mereka ingin meninggal dalam keadaan bersembahyang.

Ketakutan umat Nasrani semakin menjadi tatkala al-Fatih yang merupakan orang yang sangat mereka takuti ada di hadapan mereka. Namun alih-alih mengusir, menghancurkan, atau menyuruh umat Nasrani untuk masuk Islam, al-Fatih justru menyatakan secara terang-terangan bahwa seluruh gereja di Konstantinopel tidak akan dirubah fungsinya. Kecuali gereja Hagia Sophia, yang akan diubah menjadi masjid karena umat Muslim membutuhkan tempat untuk melaksanakan Jamaah Sholat Jumat. Uskub-uskub dari Byzantium beliau kumpulkan, menyerukan kepada seluruh umat Nasrani untuk menjalankan agamanya masing-masing dan menghilangkan perbedaan paham diantara mereka.

Karena sifat al-Fatih yang sangat toleransi terhadap agama Nasrani inilah justru banyak pendudukan Konstantinopel yang memutuskan untuk masuk Islam. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa pendiri Hagia Sophia adalah Kaisar Byzantium pada masa peradaban Romawi, dan beralih kepemilikannya di masa kepemimpinan al-Fatih pada peradaan Islam.

Apakah Al-Fatih Membeli Hagia Sophia?

Di abad pertengahan, terdapat dua peradaban besar yaitu peradaban Romawi dan Peradaban Islam. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menahlukan peradaban di abad tersebut adalah dengan penguasaan wilayah. Pilihannya adalah maju melawan juga dengan perang, atau diam mundur dan peradabannya akan lenyap. Maka perang adalah jalan yang ditempuh. Semakin banyak wilayah yang ditahlukkan, maka semakin kuatlah peradabannya. Ketika suatu wilayah berhasil ditakhlukan, maka segala yang berkenaan dengan wilayah tersebut berada pada kekuasaan penakhluk. Baik mengenai situs, bangunan, nama daerah, ibu kota semuanya menjadi wewenang penahluk.

Apakah selamanya Islam menguasai daerah takhlukan? Jawabannya tergantung. Apakah tentara Islam menang ataukah kalah. Sama halnya seperti Bagdad yang saat itu ditakhlukan oleh oleh Gulaghu Khan, maka segala hal yang berkaitan dengan Bagdad berada di tangan Gulagu Khan. Perpustaakaan Baitul Hikmah di bakar, masjid-masjid dihancurkan, madrasah-madrasah dibubarkan. Semua itu adalah konsekwensi dari perang, yang menang menguasai, yang kalah harus tunduk. Maka ketika al-Fatih berhasil menakhlukan Konstantinopel, segala hal yang berkenaan dengan Konstantinopel berada dalam wewenang al-Fatih sebagai Sultan. Tidak ada sejarawan yang mencatat terjadinya transaksi jual beli bangunan Hagia Sophia. Pengalihfungsian yang dilakukan al-Fatihpun pada dasarnya tidak bertentangan dengan kaidah yang berlaku saat itu.

Lantas Kenapa Setelah Jadi masjid, Dirubah Jadi Museum?

Perubahan ini tak lepas dari peristiwa perang dunia satu yang melibatkan berbagai kekuatan besar Dunia di abad 19. Perang tersebut melibatkan pihak Sekutu yang terdiri dari Rusia, Inggris, dan Arab. Serta pihak blok sentral yang terdiri dari Jerman, Austria, dan Turki Usmani. Perang ini dimenangkan oleh pihak sekutu.

Sebagai pihak yang kalah, para sultan Turki dijadikan boneka belaka oleh pihak sekutu. Keberuntungan sebenarnya ada di pihak kesultanan Turki Usmani, karena pihak sekutu tidak merampas Konstantinopel, pusaka Byzantium yang telah hilang selama 500 tahun. Namun sayangnya, keberuntungan ini tidak dimanfaatkan para sultan untuk mengumpulkan sisa kekuatan kesultanan Turki Usmani untuk melawan sekutu. Justru para ulama-ulama kolot banyak mengutuk dan menyesali perubahan, dan melakukan romantisisme pada kejayaan masa lalu.

Dalam keadaan terhimpit inilah, pihak Sekutu yang diinisiasi oleh Yunani berkeinginan untuk menaikkan kembali salib emas di kubah Hagia Sophia, dan menurukan symbol bulan bintang. Hal ini tentunya ditentang oleh jenderal muda Mustafa Kemal Pasha. Kemenangan jenderal atas Yunani dalam peristiwa ini menafikan kedudukan sultan. Sultan dianggap tidak mampu menjaga kedaulatan Turki Usmani, bahkan saat keadaan terhimpit sekalipun. Maka kesultanan dihapus dan dirubah menjadi kekhalifahan. Namun kekhalifahan dianggap kurang tepat, karena kekhalifahan pada dasarnya adalah hak dunia Islam, bukan semata-mata hak suatu negara. Pengangkatan khalifah Islam diserahkan kepada dunia Islam. Kemudian Turki mengikrarkan negaranya sebagai negara dengan system republic sekuler.

Sebagai jalan tengah, maka Hagia Sophia yang merupakan symbol kekuatan dua agama yaitu Islam dan Kristen sekaligus dua peradaban yaitu Romawi dan Islam, dirubah fungsinya menjadi museum. Dengan tanpa merubah symbol-simbol yang ada didalamnya.

Merubah Kembali Fungsi Hagia Sophia dari Museum ke Masjid Apakah Legal?

Tatanan dunia di abad 21 berbeda jauh dengan tatanan dunia di abad-abad sebelumnya. Di abad ini, peradaban dikuasai dengan menguasai ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan budaya. Hagia Sophia saat ini berada di wilayah teritoril negara Turki, maka segala kebijakan yang berkaitan dengan Turki adalah hak preoregatif mereka sebagai sebuah negara. Maka pengalihfungsian Hagia Sophia menjadi Masjid (lagi) adalah hal yang legal. Namun selain legalitas, dan uforia muslim, pihak otoritas Turky juga harus mempertimbangkan kembali kemungkinan terjadinya konflik antar agama (lagi).

Mengingat bahwa fakta sejarah memang menunjukkan siapa yang membangun Hagia Sophia untuk pertama kalinya. Salah satu alasan Mustafa Kemal Pasha merubah fungsi Hagia Sophia menjadi musium di abad 19 adalah untuk menghilangkan konflik Islam-Kristen yang telah terjadi semenjak abad 6 H. Merubah fungsi Hagia Sophia menjadi museum saat itu adalah langkah tepat untuk menetralisir ketegangan antar Islam-Kristen saat itu.

Jika kebijakan Erdogan ini harus dibenturkan dengan mengungkit kesalahan agama lain, dan peradaban lain, maka sama saja kita ingin menghidupkan kembali tatanan dunia sebelum abad 21 ini. Tidak ada yang setuju dengan perang, kita juga menyepakati bahwa menjaga perdamaian dunia adalah tugas seluruh manusia di Bumi ini. Fakta yang terjadi di masa lalu tentang perang, penahlukan, dan lain sebagainya biarlah menjadi suatu fakta. Tanpa mencari pihak mana yang salah, dan pihak mana yang harus dibalaskan dendamnya. Karena sampai kapanpun subjektifitas kita sebagai manusia akan berperan besar dalam menghidupkan kembali konflik antar ras maupun agama.

Kita tida bisa merubah sejarah, namun kita bisa mengambil hikmah dari segala peristiwa sejarah yang terjadi untuk bekal kita bersikap di masa mendatang.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top