Merujuk data PEW Research (2017), Islam menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya di seluruh dunia. Jumlah mualaf terus meningkat dan persentasinya bervariasi per negara, dari 0,6 persen hingga 35 persen. Namun fakta ini menyimpan problematika tersendiri, sebab kelompok muslim baru juga merupakan salah satu grup yang banyak bergabung dengan kelompok radikal dan ekstremis. Keterlibatan mereka dalam gerakan Jihadis tampaknya cukup besar, angkanya sendiri berkisar dari 6 hingga 23 persen.
Sebarannya sendiri mencakup berbagai negara, dari negara-negara Eropa Barat hingga Amerika Serikat. Bahkan diperkirakan ada 40% pejuang asing yang tergabung dengan ISIS adalah warga AS yang mualaf. Melihat realita ini, tentu perlu disoroti secara khusus mengapa kelompok ini lebih rentan terhadap propaganda ekstremis, dan hingga rela pergi meninggalkan keluarga asal mereka.
Sayangnya, penelitian sistematis yang menganalisis secara mendalam kemungkinan hubungan antara konversi dan radikalisasi masih dalam tahap awal. Masalah selanjutnya yaitu, kelangkaan data yang menunjang untuk diteliti juga menjadi problem yang kian memperumit pemahaman motif para mualaf mengapa mereka bisa menjadi bagian dari rencana global kekerasan kelompok Jihadis.
Tapi, di sisi lain, memperlakukan mualaf sebagai kelompok monolitik yang potensial menjadi teroris bisa menciptakan kesalahpahaman karena masing-masing mualaf mengikuti jalan pribadi menuju Islam dan memiliki kesamaan dengan yang lain hanya berbeda latar belakang budaya asal saja.
Sehingga riset dan wawancara mendalam terkait topik ini kepada mereka harus dilakukan dengan hati-hati sebab dapat menimbulkan risiko tertentu. Terlebih, mayoritas mualaf berpindah agama bukan dengan tujuan untuk terlibat dalam aksi teroris. Untuk alasan ini, konversi ke Islam tidak boleh dianggap sebagai akar problem yang utama.
Ketika meneliti topik ini, penting kiranya untuk menitikberatkan pada pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” radikalisasi para mualaf bisa terjadi. Pertanyaan awal yang bisa diajukan yaitu: Apakah orang yang berpindah agama dan kemudian menjadi radikal memiliki karakter berbeda jika dibandingkan dengan ekstremis yang lahir dari latar belakang budaya Islam atau keluarga Muslim? Dan, jika ya, bagaimana?
Meskipun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi akan relevan untuk memahami tantangan problematika radikalisme, dan selanjutnya akan sangat membantu bagaimana merumuskan strategi rehabilitasi untuk kelompok sasaran khusus ini, perlu diingat bahwa baik konversi agama dan radikalisasi sejatinya memiliki ciri yang hampir serupa.
Sebab, keduanya melibatkan perubahan signifikan dalam keyakinan, sikap, dan perilaku. Namun, radikalisasi berbeda dengan pindah agama sebagai proses di mana keyakinan, sikap, dan perilaku baru yang terjadi sebagai hasil konversi ternyata justru membuat pola pikir individu yang bersangkutan semakin menyempit dan terpolarisasi hingga dapat mendorong mereka untuk terlibat dalam beberapa bentuk tindakan kekerasan terhadap orang lain.
Meski hasil riset yang sudah ada belum sepenuhnya memberikan pengetahuan komprehensif tentang mengapa mualaf tampaknya menghadapi risiko radikalisasi yang lebih tinggi daripada individu yang lahir dari keluarga muslim, namun beberapa penelitian terkini bisa dijadikan rujukan terkait memahami fenomena awal dan landasan mereka tertarik dengan gerakan tersebut.
Memahami hasil penelitian-penelitian itu akan membantu untuk menyadarkan para praktisi yang bekerja dengan mualaf ekstremis mengenai beberapa isu yang paling relevan seputar konversi dan ekstremisme, serta untuk memberikan beberapa indikasi mengenai jalur potensial untuk deradikalisasi, solusi perolehan pekerjaan dan rehabilitasi.
Studi terbaru dari Gibson (2018) menemukan jumlah yang tidak proporsional dari kelompok mualaf yang mengambil bagian dalam kegiatan radikal yang bertentangan dengan mereka yang lahir dalam iman. Ia berusaha meneliti hubungan antara konversi agama dan tindak kekerasan berbasis ekstremisme. Dari eksplorasi mendalam dengan 38 individu yang masuk Islam dan kemudian melakukan tindakan radikal.
Gibson menemukan bahwa dinamika mualaf yang akhirnya memutuskan bergabung dengan kelompok radikal didasari berbagai aspek, dari sosiologis hingga faktor psikologis. Faktor pendorong tersebut di antaranya adalah kurangnya keterikatan dengan lingkungan sosial, koneksi interpersonal, masalah pribadi yang signifikan, dan individu merasa diperhatikan dan didengar oleh para perekrut.
Dari berbagai faktor pendorong tadi, aspek yang paling signifikan dalam radikalisasi adalah individu yang memiliki masalah pribadi yang berlarut-larut dalam kehidupan mereka yang mengarah pada keinginan untuk bertaubat secara total. Alih-alih menemukan guru yang tepat, mereka malah berjumpa dengan anggota kelompok radikal dan si perekrut pun melihat target.
Dan, akhirnya memanfaatkan peluang yang ada untuk terus meluncurkan berbagai propaganda. Dari sini bisa dilihat bahwa konversi agama tak bisa dilihat sebagai kunci seseorang menjadi ekstremis, namun permasalahan utama individu serta kurangnya pengetahuan tentang ajaran Islami yang moderatlah yang mendorong mereka terjebak pemikiran sempit yang digembor-gemborkan kelompok ekstremis.