26.8 C
Jakarta
Sabtu, 9 Desember 2023

Bagaimana Banyak Perempuan dari Barat Terpapar Radikalisme?

Salah satu mispersepsi terkait radikalisme meyakini bahwa hanya kelompok individu dengan tingkat literasi atau level pendidikan rendah saja yang memiliki potensi tinggi untuk bergabung dengan organisasi ektremis. Anggapan itu nyatanya salah besar. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perempuan dari negara-negara maju dengan gelar sarjana, justru rela bepergian jauh ke Suriah untuk bergabung dengan Daesh.

Partisipasi mereka tentunya membingungkan pembuat kebijakan, pemerintah, dan peneliti yang selama ini memfokuskan perhatian pada perilaku radikalisme. Akibatnya, pengamat sering berargumen bahwa mereka adalah korban penipuan organisasi atau tergoda oleh janji asmara. Padahal situasinya jauh lebih kompleks dari itu.

Ketika menyederhanakan bahwa para wanita yang bergabung dengan ISIS hanya berlandaskan emosi sesaat dan tidak dalam keadaan rasional saat memilih untuk bergabung dengan kelompok, hal itu malah terlalu menyederhanakan masalah dan tidak menguraikan masalah sesungguhnya. Sebagai gambaran, pada bulan Desember 2015 lalu saja, Grup Soufan melaporkan bahwa ada sekitar 31.000 orang dari lebih dari 86 negara yang telah bergabung dengan Daesh.

Dan lebih dari 5.000 orang yang direkrut ini berasal dari negara bagian Barat, dan lebih dari 600 di antaranya adalah wanita. Bahkan menurut badan intelijen Prancis, terjadi peningkatan signifikan dalam perekrutan perempuan untuk bergabung pada kelompok ekstremis tersebut, dari 2014 yang hanya 10%, dua tahun kemudian jumlahnya bertambah drastis hingga 40%.

Tak hanya itu, statistik yang hampir sama juga terjadi pada rekrutan dari Amerika Serikat. Data pemerintah memperkirakan bahwa satu dari enam orang Amerika yang mencoba untuk bergabung dengan Daesh di Suriah adalah perempuan. Terlepas dari catatan empiris partisipasi perempuan dalam angkatan bersenjata, perjuangan atas nama Islam, keanggotaan perempuan Daesh sejujurnya membingungkan pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, dan peneliti.

Sebab, sesampainya di sana kerap terjadi perlakuan kasar dan ekspektasi konservatif terhadap perempuan dan anak perempuan. Bahkan penegakan dogmatis Daesh terhadap interpretasi hukumIslam telah menyebabkan banyak dari mereka memiliki pergerakan amat terbatas. Namun, dari situ banyak dari mereka tetap bertahan dan loyal kepada kelompok radikal itu.

Melihat fenomena tadi, dua peneliti dari University of Washington: Meredith Loken dan Anna Zelenz mencoba mendalami mengapa para wanita Barat ini bergabung dengan Daesh? Apa motivasi mereka sebenarnya? Apakah berbeda dari rekrutan Islamis lainnya?

Menggunakan dataset dari aktivitas media sosial dari 17 rekrutan wanita Barat antara 2011–15, Meredith dan Anna menyimpulkan bahwa mereka rela mengorbankan privilege di negara maju karena didorong oleh ideologi agama yang mengadopsi secara tegas bingkai gender. Tak hanya itu, dua peneliti itu menemukan bahwa rekrutan perempuan ISIS rata-rata terperangkap perasaan terisolasi dan perasaan tidak puas akan situasi yang melingkupi mereka selama ini.

Temuan ini juga memperlihatkan bahwa di satu sisi, perekrutan anggota baru kelompok ekstremis ternyata tidak membedakan gender dalam internalisasi dogma radikal mereka. Hal ini tentu memiliki implikasi yang berharga untuk studi keamanan dan kontraterorisme, yang cenderung memperlakukan perempuan ekstremis sebagai sesuatu kasus yang unik.

Perempuan tak selalu direkrut semata-mata untuk dinikahkan dengan anggota laki-laki saja, tapi mereka memang sengaja ditarik untuk ikut berjuang dan bahkan memiliki andil besar dalam perluasan jaringan ekstremisme lebih lanjut. Oleh karena itu, anggota perempuan rekrutan kelompok radikal tentu harus dianggap serius sebagai pemberontak yang berniat mendirikan kekhalifahan Islam.

Mereka adalah aktor yang berkomitmen membuat keputusan tindak kekerasan yang mereka pandang sebagai hal mendasar bagi iman mereka. Para rekrutan wanita percaya bahwa hijrah adalah wajib, dan pengorbanan mereka dalam bentuk apapun, termasuk melalui jalur kekerasan diperlukan untuk melengkapi keimanan mereka.

Lebih lanjut, Meredith dan Anna juga menunjukkan bahwa anggota wanita ISIS tak hanya mengambil peran administratif di wilayah yang dikuasai Daesh, beberapa dari mereka bahkan terlibat langsung dalam penyerangan bersenjata. Tambahan tugas lainnya, perempuan-perempuan ini juga berperan penting dalam menyebarkan ideology ekstremis, membantu penggalangan dana, dan merekrut anggota baru.

Dengan memberikan fokus berlebihan pada anggapan perempuan dalam kelompok ekstremis sebagai korban, tindakan preventif yang efektif untuk menghentikan tindakan mereka pun akan menjadi salah kaprah. Oleh karenanya semua pihak berwajib perlu melihat bahwa agensi perempuan dalam kelompok ekstremisme jauh lebih kompleks dari sekedar anggota kelas dua.

TERBARU

Konten Terkait