Membangun Dialog Positif untuk Menangkal Tumbuhnya Radikalisme

“Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang jahat. Tapi karena diamnya orang-orang baik,” nasihat Ali bin Abi Thalib tersebut nampaknya masih tetap relevan di era sekarang di mana media sosial kita kian penuh akan kemarahan, hujatan hingga ujaran kebencian yang mengarah pada pandangan ekstremisme. Sayangnya, mereka yang memanfaatkan platform tersebut untuk menumbuhsuburkan radikalisme kian hari kian banyak dan ternyata salah satu faktor penyebabnya adalah kita yang paham kebenaran, justru memilih diam.

Merespon fenomena ini, Walter Sinnot-Armstrong, seorang profesor di Duke University Carolina Utara menyampaikan bahwa membiarkan mereka yang berpikiran salah dan ekstrem untuk terus berpendapat dengan dalih menyimpan energi nyatanya tidak membantu dunia menjadi lebih baik. Justru respon kita, baik itu tertulis maupun lisan, memiliki manfaat sendiri.

Membangun Dialog Positif untuk Menangkal Tumbuhnya Radikalisme

Mengambil contoh dari pengalaman pribadinya, ia bercerita bahwa ia memiliki teman yang punya pola pikir sangat berseberangan dan mereka tak pernah setuju satu sama lain. Hal yang menarik, Walter tak pernah memutus persahabatan dengan mereka. Sampai-sampai orang di sekelilingnya bingung dan heran, “bagaimana mereka bisa tetap berteman?”

Ditanya seperti itu, Walter menjawab dengan enteng, “perlu diketahui bahwa banyak dari kolega saya adalah filsuf, dan para filsuf tentu belajar bagaimana menghadapi posisi diri di garis tipis kewarasan. Selain itu, saya menjelaskan dan memberikan argumen untuk klaim saya, dan mereka dengan sabar mendengarkan dan menjawab dengan argumen mereka sendiri terhadap pendirian saya. Intinya ada timbal baik antara kami. Dengan bertukar alasan dalam bentuk argumen, kami menunjukkan rasa hormat satu sama lain dan menjadi lebih memahami satu sama lain. Meski akhirnya, tidak semua dari kami saling setuju.”

Bagi komunitas filsuf seperti Walter, konflik dan perdebatan intens adalah makanan sehari-hari. Jadi, perselisihan sipil semacam ini mungkin masih tampak mustahil di antara orang biasa. Namun, beberapa cerita memberikan harapan dan menunjukkan bagaimana mereka mampu berpikir rasional dan logis meski dihadapkan oleh pertentangan demi pertentangan. Tak hanya itu, ketika masing-masing mendengarkan alasan satu sama lain, mereka menyadari bahwa mereka memiliki nilai dasar yang sama.

Keduanya mencintai keluarga dan komunitas sekitar mereka dan menginginkan kehidupan yang layak bagi orang-orang terdekat mereka. Selain menjabarkan pengalaman personalnya, Walter juga memberikan contoh terkenal yang melibatkan Ann Atwater dan C P Ellis di kampung halamannya di Durham, North Carolina; yang juga dikisahkan dalam buku Osha Gray Davidson, “The Best of Enemies” (1996).

Syahdan, Atwater adalah orang tua tunggal, miskin, kulit hitam yang memimpin suatu program yang mencoba memperbaiki lingkungan kulit hitam setempat. Ellis adalah orang tua yang sama-sama miskin tetapi berkulit putih yang bangga menjadi anggota aktif dari Ku Klux Klan di wilayah yang sama. Dengan ideologi dan pandangan yang amat bertolak belakang, mereka saling membenci satu sama lain.

Bahkan Ellis beberapa kali membawa senjata dan antek kelompok kanannya ke pertemuan kota yang terkenal merupakan lingkungan tempat tinggal komunitas kulit hitam. Di satu sisi, Atwater juga pernah meluncur ke arah Ellis dengan pisau dan harus ditahan oleh teman-temannya.

Meskipun mereka saling membenci, ketika pengadilan memerintahkan Durham untuk mengintegrasikan sekolah umum mereka, Atwater dan Ellis ditekan untuk bisa memimpin program bersama tersebut–yang diikuti dengan serangkaian diskusi public yang berlangsung delapan jam per hari selama 10 hari pada Juli 1971 – tentang bagaimana menerapkan integrasi dari dua kelompok ekstrim yang jauh berbeda. Untuk merencanakan kebijakan baru tersebut, mereka bertemu dan mulai dengan mengajukan pertanyaan, menjawab dengan alasan, dan mendengarkan satu sama lain.

Atwater bertanya kepada Ellis mengapa dia menentang integrasi. Dia menjawab bahwa terutama dia ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, tetapi integrasi akan merusak sekolah mereka. Atwater sempat tergoda untuk meneriakinya, menyebutnya rasis, dan pergi dengan gusar. Tapi dia tidak melakukannya. Sebaliknya, dia mendengarkan dan mengatakan bahwa dia juga ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik.

Kemudian Ellis bertanya kepada Atwater mengapa dia bekerja sangat keras untuk memperbaiki perumahan bagi orang kulit hitam. Dia menjawab bahwa dia ingin teman-temannya memiliki rumah yang lebih baik dan kehidupan yang lebih baik. Dia menginginkan hal yang sama untuk teman-temannya. Setelah menyadari kesamaan mereka, mereka akhirnya memutuskan untuk bekerja sama mengintegrasikan sekolah Durham secara damai.

Dan usaha mereka tak sia-sia, mereka berhasil mewujudkan penyatuan sekolah. Meski, semua ini tidak terjadi dengan cepat atau mudah. Diskusi panas mereka berlangsung selama 10 hari yang panjang di Charrette. Dari kasus ini, kita bisa belajar bahwa mereka adalah individu yang luar biasa dan memiliki dorongan kuat untuk bekerja sama, termasuk dalam mengoptimalkan kecerdasan emosional.

Namun, perlu diingat juga bahwa kejadian tadi membuktikan bahwa terkadang musuh bebuyutan bisa menjadi teman dekat, dan dapat mencapai banyak hal untuk komunitas mereka ketika dialog positif terbangun dengan optimal.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top