28.4 C
Jakarta
Senin, 9 September 2024

Menguak Seluk Beluk Bissu dalam Tradisi Bugis: Sejarah dan Tantangan Dimasa Kini

Bissu adalah tokoh yang dituakan dalam tradisi Bugis. Berdasarkan sejarahnya, Bissu adalah orang kepercayaan di masa kerajaan Bugis. Segala aktifitas kerajaan harus melalui Bissu, termasuk penentuan kebijakan raja dan juga penasehat kerajaan. Pemenuhan ekonomi Bissu dimasa kerajaan dicukupi oleh kerajaan. Bissu adalah sebuah panggilan yang didapat dari sebuah mimpi. Untuk menjadi Bissu, seseorang harus mendapatkan petunjuk terlebih dahulu kemudian menjadi calabay. Selanjutnya baru menuju ke proses menjadi Bissu. Semua Bissu adalah calabay tapi tidak semua calabay adalah Bissu.

Bissu adalah pendeta agama dalam tradisi Bugis jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Pada dasarnya Bissu juga menyakini adanya kekuatan metafisik luar biasa yang mengatur kehidupan seluruh manusia di dunia. Bissu juga meyakini adanya kehidupan setelah kematian (akhirat) dimana kehidupan akhirat ditentukan dengan bagaimana manusia hidup di dunia. Maka Bissu di masa kerajaan memiliki tugas berat untuk menjaga keseimbangan kerajaan baik keseimbangan dengan alam, Tuhan, maupun dalam kebijakan pemerintahan.

Pada masa penjajahan, Bissu memiliki peran yang sangat dominan. Kemampuan Bissu dalam berkomunikasi dengan alam, dimanfaatkan untuk menyeimbangkan antara gerakan militer sederhana dan bantuan alam dalam melawan penjajah. Sebelum memilih bambu untuk melawan senjata laras panjang milik Belanda, konon Bissu berkomunikasi terlebih dahulu dengan bambu “berapa nyawakah yang bisa kau tembus jika aku memilihmu menjadi senjata untuk melawan Belanda?. Secara logika, sulit rasanya sebuah bambu runcing bisa mengalahkan senjata laras panjang milik Belanda. Namun fakta dan alam menunjukkan sebaliknya, meskipun hanya bermodal bambu runcing ternyata mampu memukul mundur pasukan Belanda. Maka bagaimanapun, perjuangan para Bissu yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah dedikasi tinggi untuk Negara.

Pada Senin 23 Mei 2022, Bissu Eka dihadirkan dalam kegiatan workshop daring Fellowship KBB 2022 yang diadakan oleh CRCS (Center For Religious And Cross-Cultural Studies) Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Pada kesempatan tersebut, beliau menjelaskan dengan panjang lebar terkait sejarah dan juga tantangan yang dihadapi Bissu selama ini. Sesi berjalan dengan penuh haru, Bissu Eka menceritakan dengan beruraian air mata. Tentang bagaimana upaya para Bissu melestarikan budaya nenek moyang di tanah Bugis, tentang eksistensinya yang semakin tergerus modernitas, dan tentang Negara yang tak pernah hadir untuk mengakomodir keberadaannya sebagai pelaku budaya.

NKRI Mengancam Eksistensi Bissu?

Bissu Eka mengawali diskusinya dengan menjelaskan tentang realitas keberadaan Bissu masa kini. Meskipun dimasa kerajaan peran Bissu sangat dibutuhkan oleh masyarakat Bugis, namun keadaan semakin berubah dari waktu ke waktu. Tepatnya setelah kerajaan melebur menjadi satu wilayah NKRI dengan kepemimpinan yang terpusat. Ada saat-saat tertentu dimana keberadaan Bissu dianggap tidak relevan dan tidak dibutuhkan lagi dalam sistem kenegaraan yang dibangun di NKRI. Puncaknya terjadi saat gerakan G30 S/PKI. Pada masa tersebut para Bissu menjadi buronan dan diancam akan dibinasakan dengan berbagai alasan. Kemudian para Bissu memilih untuk melarikan diri ke dalam hutan. Membangun kehidupannya sendiri dan bertahan hidup dengan keadaan yang serba menyedihkan dan mengenaskan di dalam hutan. Bahkan hanya untuk mempertahankan identitasnya sebagai Bissu, nyawa keluarga menjadi taruhannya.

Lambat laun tepatnya setelah reformasi, dimana kran kebebasan berbicara dan berpendapat mulai terbuka, identitas Bissupun mulai diakui di NKRI. Dengan syarat, para Bissu harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh hukum yang berlaku di wilayah Indonesia. Dalam hal pemenuhan administrasi negara misalnya, pada Bissu wajib mencantumkan laki-laki sebagai jenis kelamin. Karena calabay (waria) tidak diakui dalam hukum adnimistrasi negara. Selain itu, Bissu juga harus memilih satu agama dari 6 agama yang diakui di Indonesia meskipun para Bissu memiliki agama tersendiri.

Dengan segala keterbatasan dan juga aturan yang diberlakukan oleh Negara, para Bissu masih tetap bersyukur. Setidaknya kehadiran Bissu di tengah NKRI bukan dianggap sebagai pembelot, pembangkang, dan musuh negara. Keberadannya diakui sepanjang menaati aturan yang berlaku di Negara. Bissu juga diberi hak untuk menjalankan praktik kebudayaan, diberi hak untuk menjalankan keyakinannya, dan dalam berbagai ritual adat Bugis, keberadaannya masih diharapkan oleh sebagain masyarakat Bugis.

Dianggap Musyrik dan Menjadi Sumber Bencana Bagi Sekitarnya

Namun permasalahan seakan terus datang tanpa usai. Setelah negara mulai mengakui dan memberikan akses kepada Bissu, masalah muncul dari pemeluk agama mainstream lainnya. Saat kejadian gempa di Palu dan Donggala pada 2018 lalu, banyak pihak yang menyalahkan keberadaan dan ritual Bissu. Bagi sebagai pemeluk agama mainstream, tradisi dan budaya yang dilestarikan Bissu mengandung kesyirikan sehingga membawa bencana hebat yang menewaskan ribuan warga tersebut.

Bissu Eka menyayangkan sikap para pihak yang menganggap ritual dan budaya Bissu adalah kemusyrikan. Masyarakat dewasa ini sepertinya lebih suka menghujat daripada melakukan klarifikasi. Lebih lanjut, Bissu Eka menyatakan bahwa sesajen dan juga ritual yang Bissu lakukan semuanya mengandung makna, tentang Ketuhanan, tentang kemanusiaan, dan tentang bagaimana manusia harus berinteraksi dengan alam. Para Bissu juga melantunkan doa pada Tuhan sebagaimana umat beragama lain melanjutkan doa dalam keyakinan, cara, dan bahasanya masing-masing. Jikalau komunikasi dan dialog dilakukan, maka apa yang dilakukan para Bissu sebenarnya tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh umat beragama lainnya.

Sebagai penutup sesinya, Bissu Eka mengharap kepada pemerhati akan sumbangan pikiran bagi seluruh pihak. Agar keberadaan Bissu dianggap sebagai bagian dari WNI yang memiliki hak sebagai manusia. Bissu adalah pelaku budaya, dan seharusnya dihargai dihormati selayaknya seniman. NKRI harus menjadi tempat yang aman untuk semua golongan dan etnis. Bhineka Tunggal Eka seharusnya benar-benar menjadi rumah yang aman bagi seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali.

TERBARU

Konten Terkait