Proses diversi dan restoratif justice pada perkara Anak menjadi salah satu upaya perlindungan dan pemenuhan bagi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Dalam beberapa kasus, pemberiaan tindakan hukum tidak masuk ke dalam lembaga LPKA. Akan tetapi, melalui lembaga alterbatif laun bernama LPKS.
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati, perlu ada skema rehabilitasi yang lain jika memang diversi dan RJ nanti akan digunakan tentukan. Terutama setelah diputuskan ada treament lain yang harus diberikan dalam konteks rehabilitasinya.
”Jadi AKT inikan sebenarnya belum diatur secara khusus di SPPA. Kasus AKT dia masih umum, artinya apa yang ada di UU Perlindungan Anak yang anak menjadi korban jaringan terorisme adalah salah satu 15 item dari perlindungan khusus itu,” ungkapnya dalam agenda WGWC Talk 24, belum lama ini.
Diungkap olehnya, perlu dilihat tindakan pelaku terhadap tindak pidana terorisme. Apakah anak tersebut terlibat dalam tindakan ekstremisme tanpa ada pengaruh, baik media dan seterusnya. Jika melihat hal ini, sebenarnya bisa menggunakan Undang-undang terorisme yang melibatkan anak denga ancaman pidananya ditambah 1/3.
Jika yang terlibat anak, perlu perlu menggunakan prinsip AKT adalah korban dari paham radikalisme, eksploitasi orang dewasa yang melibatkan anak dalam kegiatan terorisme. Meskipun, dirinya sepakat perlu ada assesment yang mendalam, sebagai lembaga yang menangani hal ini kita semua yang terlibat tidak bisa langsung judgment.
”Betul anak tersebut menjadi pelaku tapi pelakunya dalam konteks apa, apakah ada ornag dewasa yang menyuruh justru pelaku tindak pidananya adalah orang dewasa. Kalau di UU terorismeitu sendiri, tadi ditambah 1/3 hukumannya ini menjadi bagian yang penting untuk diperhatikan,” pungkasnya.