Penguasaan Taliban kembali atas Afghanistan pada Agustus 2021 lalu menuai banyak kontroversi. Sebagian pihak merasa pendudukan kembali Taliban sebagai harapan baru Afganistan untuk bisa bebas dari kungkungan Amerika. Namun disatu sisi, banyak pihak yang merasa trauma terutama dari kalangan perempuan. Hal ini lantaran sikap dan perilaku Taliban pra 2001 yang diskriminatif terhadap perempuan.
Perempuan dilarang berpartisipasi di ranah publik, dilarang ke sekolah, dilarang berbicara keras dan berjalan terlalu cepat, mereka juga diwajibkan menggunakan chadri. Pakaian panjang yang menjuntai ke tanah dengan topi yang menutupi bagian kepala dan muka. Taliban pra 2001 juga tak segan memberikan sanksi berupa fisik jika ada perempuan yang melanggar ketentuan syariat Islam dalam pemahaman Taliban.

Tepat sehari setelah Taliban menduduki kembali Afghanistan pada 16 Agustus 2021, Zarifa Ghafari menyatakan siap untuk dieksekusi Taliban sewaktu-waktu. Zarifa Ghifari adalah seorang walikota perempuan di Maidan Shahr, salah satu provinsi di Afghanistan. Sebagaimana pemahaman Taliban pra 2001, perempuan yang bekerja di ranah publik menyalahi kodratnya sebagai perempuan.
Kekhawatiran Zarifa Ghafari mendapat respon langsung dari petinggi Taliban saat itu. Dalam konferensi pers 17 Agustus 2021, juru bicara Taliban Zabiullah Mujahid menyatakan bahwa kegelisahan Zarifa Ghafari tidak akan pernah terjadi. Karena Taliban yang saat ini bukanlah Taliban pra 2001. Mereka mengklaim akan mengedepankan idelogi moderat sehingga hak-hak perempuan akan tetap diprioritaskan. Sama dengan laki-laki, Zabiullah Mujahid menyatakan Taliban akan memberikan hak yang sama baik di wilayah publik dan domestik, dan akan memberikan kebebasan bagi perempuan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang tinggi.
Saat itu, saya termasuk pihak yang optimis dengan janji Zabiullah Mujahid. Saya membayangkan Afghanistan akan lebih berdaya karena tak lagi di bawah penguasaan Amerika. Afghanistan bisa menjadi negara yang sepenuhnya merdeka dan memiliki kekuasaan untuk mengatur negaranya sendiri. Dan hak perempuan juga akan diberikan sepenuhnya sebagaimana sebelumnya. Perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk berkiprah di ranah publik dan domestik sebagaimana laki-laki.
Menegakkan Syariat Islam atau Mempertahankan Keegoisan?
Namun sepertinya, realisasi janji Zabiullah Mujahid itu jauh panggang daripada api. Pada Maret 2022 ini, Taliban secara resmi melarang remaja perempuan untuk berangkat ke sekolah. Dengan alasan pemerintah Taliban sedang menyusun aturan untuk seragam yang akan diberlakukan. Namun hingga artikel ini ditulis, pemerintah Taliban masih menutup sekolah-sekolah.
Tak cukup sampai disitu, pada Sabtu 7 Mei 2022 Hibatullah Akhundzaka seorang pemimpin spiritual Taliban menyerukan kewajiban perempuan untuk menggunakan chadori. Burqa yang terjulur dari kepala hingga ujung kaki ini diyakini sebagai pakaian kehormatan perempuan dan melanggengkan aturan dalam syariat Islam. Tujuannya adalah agar tidak memancing syahwat saat bertemu dan berkumpul dengan lawan jenis. Jika aturan pemakaian chadori ini dilanggar oleh perempuan, maka sanksi akan diberlakukan bagi ayah dan saudara laki-laki dari perempuan. Sanksi tersebut berupa penjara bagi masyarakat sipil, dan pemecatan jika berasal dari unsur pejabat. Perempuan juga harus didampingi oleh mahram jika melakukan perjalanan dengan jarak lebih dari 45 mil.
Aturan Taliban yang diskriminatif terhadap perempuan ini semuanya berdalih untuk menegakkan syariat Islam. Namun apakah benar Islam menormalisasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan? Ataukah semua kebijakan Taliban atas perempuan hanya bentuk egoisentris Taliban untuk membuktikan superioritasnya atas perempuan di Afghanistan?
Berbicara mengenai bagaiman Islam memberlakukan perempuan, sepertinya apa yang diterapkan Taliban tersebut sama sekali tidak sesuai dengan spirit pemanusiaan perempuan. Nabi Muhammad dalam menebarkan agama Islam selalu menjunjung tinggi nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan. Nabi Muhammad mengangkat derajat perempuan dengan memberikan hak yang sama bagi perempuan dalam hal waris dengan pembagian yang proporsional. Nabi Muhammad juga memerikan hak bagi perempuan untuk menyatakan pendapatnya.
Ialah sayyidah Khadijah, istri yang sangat dicintai Rasulullah selalu menjadi rujukan pertama Nabi Muhammad ketika beliau menghadapi keadaan yang bimbang. Saat menerima wahyu pertama kali. Khadijah adalah orang pertama yang menjadi tempat Nabi Muhammad bercerita. Bahkan pendapat Khadijah yang menyarankan Nabi Muhammad untuk bertemu pendeta Waraqah bin Naufal yang juga kerabat Khadijah.
Nabi Muhammad juga tidak melarang Aisyah istri beliau untuk mengemban pendidikan. Hingga Aisyah tumbuh menjadi perempuan cerdasa yang menguasai berbagai ilmu. Antara lain ilmu fikih, ilmu kedokteran, ilmu politik, perang dan ilmu sastra. Saat perang Uhud, Nabi Muhammad juga memberi izin kepada dokter Nusayba binti Ka’ab al-Mazneya untuk terjun ke medan perang sebagai ahli medis. Tak hanya itu saja, dalam perang Badar, Khaibar, dan Hunain Nusayba binti Ka’ab al-Mazneya juga mengambil peran sebagai petugas penyedia pasokan minum bagi pasukan perang.
Maka klaim Taliban yang selalu mendalihkan penegakan syariat Islam dibawah aturan yang diskriminatif ini justru bertentangan dengan apa yang dilakukan Rasulullah kepada perempuan. Islam mengedepankan misi kemanusiaan, dan dicontohnya secara nyata oleh Rasulullah. Seluruh aturan yang ada dalam al-Quran mengedepankan proporsi yang seimbang baik untuk laki-laki maupun perempuan. Kemahadilan Allah sesuai dengan janji-Nya berlaku untuk seluruh makhluk. Jika ada aturan yang diklaim sebagai syariat Islam namun tidak mengedepankan sisi keadilan, sungguhlah itu sebuah keegoisan individu belaka. Yang melakukan penindasan dengan dalih penegakan syariat Islam.
Lantas apakah benar kebijakan Taliban atas perempuan adalah bentuk penegakan syariat Islam? Ataukah bentuk keegoisan Taliban untuk membuktikan superioritasnya atas perempuan?