Bulan maret lalu, James M. Dorsey, seorang analis dan jurnalis senior terkemuka menerbitkan sebuah tulisan berjudul “Saudi Arabia and Indonesia: Clashing Vision of ‘Moderate Islam”. Dalam tulisannya, Dorsey yang merupakan salah satu jurnalis senior yang memiliki reputasi istimewa dalam lingkaran pemikiran dan jurnalisme global ini mengidentifikasi Indonesia sebagai salah satu dari dua arus besar (bersama dengan Saudi Arabia) kontestasi visi ‘Islam moderat’.
Tulisan Dorsey tersebut seakan memberi angin segar bagi kita, bahwa dalam konteks arus pemikiran Islam Indonesiamemiliki posisi penting dalam mewujudkan visi ‘Islam moderat’ di tengah krisis dunia Islam dewasa ini. Tetapi dalam konteks yang lain, ‘angin segar’ yang dibawa Dorsey tersebut nampaknya tidak cukup kuat untuk menutupi fakta tentang masih maraknya aksi-aksi terorisme yang berbasis agama di lapangan.
Pada tahun 2021 silam, Global Terrorism Index (GTI) menempatkan Indonesia pada ranking 24 negara yang terdampak terorisme dari 164 negara di dunia dengan indeks 5.5/10. Terorisme secara garis besar dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari isu-isu politik sampai kondisi ekonomi domestik. Analisis ekonomi dan konflik menunjukkan bahwa agresifitas sering kali dipicu oleh kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakadilan, kemiskinan, serta tidak efektifnya manajemen publik. Namun di luar itu, paham-paham radikal yang berkembang di masyarakat juga memegang peranan yang cukup besar.
Glorifikasi kebenaran sepihak dan anggapan bahwa hanya kelompok tertentu saja yang suci juga berdampak cukup serius terhadap pola perilaku masyarakat, khususnya dalam lingkup keagamaan. Sehingga tidak jarang agama selalu dijadikan dasar untuk membenarkan tindakan-tindakan teorirsme.
Salah satu yang menarik namun juga memprihatikna dalam aktivitas terorisme yang terjadi di Indonesia adalah meningkatnya tren keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme.
Dari catatan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), dalam rentang waktu antara 2011 sampai 2020, jumlah pelaku terorisme berjenis kelamin perempuan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari yang semula hanya berjumlah 4 orang dalam rentang tahun 2011-2015, menjadi 34 orang pada 2016-2020. Ironisnya, dari sekian banyak nama yang tercatat terlibat dalam aksi terorisme tersebut, seluruhnya terafiliasi dengan kelompok-kelompok separatis Islam extrimis seperti ISIS, Darul Islam (DI/NII), dan jaringan-jaringan Islam radikal lainnya.
Pertanyaannya adalah mengapa tren keterlibatan perempuan dalam terorisme mengalami peningkatan yang signifikan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu butuh uraian panjang, mengingat faktor-faktor pemicunya yang juga tidak tunggal. Tetapi melihat posisi perempuan dalam lingkaran sosial-keagamaannya barangkali merupakan langkah awal yang dapat sedikit memberikan landasan awal untuk menjawab pertanyaan tersebut. Beberapa faktor umum yang sangat memengaruhi keterlibatan perempuan dalam aktivitas kelompok teroris radikal adalah pernikaha, pertemanan, dan hubungan kesaudaraan.
Menurut Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Anti Teror Polri, hampir semua perempuan yang aktif terlibat dalam jaringan kelompok teror radikal seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) terpapar pemikiran radikal melalui suami mereka. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah domestik perempuan merupakan wilayah yang paling rentan menjadi jalan masuknya paham radikal mengingat posisi perempuan Indonesia di wilayah domestik memang sangat lemah dan cenderung berada dalam kendali laki-lakinya.
Badan Pusat Statistik memperlihatkan Indeks Pembanguna Manusia (IPM) menerut jenis kelamin di Indonesia masih memosisikan perempuan di bawah laki-laki. Di tahun 2021 IPM perempuan hanya sebesar 69,59, lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai 79,25 di tahun yang sama. Hal ini menunjukan bahwa akses perempuan pada pendidikan serta sumber ekonomi sebagai bagian dari indikarot pembanguna manusia memang tidak sebesar laki-laki. Kurangnya literasi serta akses ekonomi yang terbatas sangat memengaruhi posisi perempuan, terutama di wilayah domestik, sebagai pihak yang dapat dengan mudah dikontrol dan dipengaruhi oleh orang-orang dilingkarannya seperti suami, saudara, dan sahabat.
Beberapa faktor lain yang juga memengaruhi meningkatnya keterlibatan perempuan sebagai pelaku terorisme diantaranya adalah pemahaman keaagamaan yang sangat kental dengan doktrin menegakkan khilafah, serta ideologi yang secara individu dianut seperti doktrin hijrah, jihad, dan syahid. Faktor-faktor tersebut lagi-lagi memiliki akar yang sama; lemahnya perempuan dari segi pendidikan. Sehingga perempuan tidak punya daya kritis yang cukup untuk menfilter pemahaman-pemahaman keagamaan yang diterimanaya.
Kasus seorang Ibu yang berusaha membunuh 3 anaknya di Brebes, meskipun tidak termasuk dalam kategori terorisme secara definitif, merupakan penggambaran yang tepat untuk memperlihatkan dampak dari pemahaman keagamaan, ideologi, serta kondisi ekonomi seorang perempuan dapat berujung pada tindakan-tindakan yang pada dasarnya dilarang oleh agama itu sendiri. Pada akhirnya, akses terhadap pendidikan dan sumber daya ekonomi yang memadai menjadi hal yang sangat penting, terutama untuk perempuan yang merupakan bagian penting dari sebuah masyarakat. Karena sebagaimana kutipan Hafez Ibrahim, seorang penyair Mesir terkenal dari awal abad ke-20; Ibu (peremuan) adalah madrasah, jika kau memberdayakannya, kau membangun sebuah bangsa dengan sebuah fondasi yang kuat.