29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Wajah Muslimah Kaffah pada Perempuan Pejuang Khilafah

Kalau kita lihat media sosial beberapa akun khilafah yang menampakkan perempuan, kurang lebih kalimat yang disampaikan seperti ini, “Khilafah memuliakan perempuan”. Narasi ini kalau dibaca sekilas, tentu tidak bermasalah. Namun, di pelbagai ruang diskusi lain. Para perempuan pejuang khilafah justru mendskreditkan banyak masalah, khususnya masalah perempuan.

RUU TPKS yang kini disahkan menjadi UU TPKS, memiliki sejarah panjang penolakan yang begitu massif. Perempuan pejuang khilafah dalam konteks ini, menjalakan peran yang luar biasa, salah satunya menyajikan narasi penolakan terkait RUU TPKS. Ada banyak sekali yang ditentang oleh perempuan pejuang khilafah diantaranya: gerakan feminis yang ditolak lantaran berasal dari barat dan tidak sejalan dengan Islam.

Selain itu, mereka juga menyebarkan narasi bahwa, RUU TPKS ini menghalalkan aborsi, melegalkan zina, sehingga kemunduran akhlak Muslimah semakin terlihat. Ditambah lagi dengan, kapitalisme yang semakin menjamur, negara bobrok karena sistem negara yang tidak sesuai Islam. Tidak hanya itu, perempuan pejuang khilafah juga menyebutkan bahwa, perempuan tidak boleh berkarir, tidak boleh bekerja, dan tidak boleh keluar rumah, karena Islam sudah mengatur tentang itu.

Sehingga atas dasar pemikiran itulah, maka negara khilafah adalah solusi paling tepat bagi Muslimah yang akan hidup di dunia modern, namun tetap mempertahankan akidah sesuai dengan ajaran Islam. Janji semu bagi Muslimah pejuang khilafah, Inayah Rohmaniyah (2020) dalam bukunya menjelaskan banyak sekali tentang biasa gender yang dipahami oleh perempuan pejuang khilafah. Perempuan-perempuan itu didoktrinn untuk menegakkan khilafah dalam ruang manapun.

Di keluarga, ia menyampaikan ideologi itu kepada seluruh anaknya, anggota keluarga sebagai bagian dari dakwah untuk menjadikan negara Islam. Meskipun demikian, menurut Inayah, fakta dakwah tersebut tidak memberikan ruang yang bebas bagi perempuan. Mereka tetap didominasi oleh laki-laki. Ruang berorganisasi yang diberikan kepada perempuan sangatlah sempit. Dalam pembagian peran misalnya, sentralitas dan superioritas laki-laki dalam kelompok khilafah, menunjukkan adanya ketimpangan yang tercipta antara relasi dan laki-laki.

Dominasi peran laki-laki tersebut menunjukkan ada kuasa yang harus diberikan kepada pihak laki-laki oleh perempuan, sebagaimana Islam memberikan ruang seperti itu kepada laki-laki. Inayah menyebut sebagai takdir dan mendapat posisi legitimasi teologis dan sosiologi dalam kelompok organisasi HTI bagi kalangan mereka. Kenyataan ini bisa dilihat bahwa, para perempuan pejuang khilafah berdakwah untuk perempuan semata.

Melakukan pelbagai gerakan dakwah dan memperbanyak ruang geraknya di kalangan perempuan. Relasi apapun dengan laki-laki tidak dibenarkan, sebab hal itu haram dan sejenisnya. Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan para aktifis feminis, yang
menyuarakan tentang kesetaraan gender. Kebebasan dengan memberikan ruang bagi
perempuan untuk berkarya dan berdikari. Itulah yang membuat keduanya saling bersinggungan.

Apalagi, para pejuang khilafah dalam implementasi gerakannya, syariat, akidah, dan landasan teologis menjadi pijakan unggul yang dimiliki untuk merekrut kader. Begitu juga mengembangkan organisasi dan menghidupkan gerakan khilafah itu. Kritik para perempuan pejuang khilafah ini, sangat anti terhadap feminism dan narasi kesetaraan gender. Sebab yang menyebabkan banyak sekali perceraian, aborsi, kekerasan seksual, LGBT, dll.

Para perempuan pejuang khilafah memiliki makna tersendiri terhadap kesetraan gender, dimana bagi mereka, peran yang paling dimuliakan bagi perempuan adalah wilayah domestik, dan tanggung jawab dalam hal keluarga. Namun, perempuan pejuang khilafah belum melihat bagaimana, perempuan single parent yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, kondisinya yang tidak mandiri secara finansial, mengharuskan dia mencari kerja, bertemu dengan banyak orang, berhadapan dengan laki-laki.

Dalam konteks ini, narasi perempuan pejuang khilafah mudah sekali dipatahkan oleh logika realistis yang sering ditemui. Bukankah bagi mereka, apapun masalahnya, solusinya adalah penegakkan sistem negara Islam? Jadi logika apapun yang dipatahkan,
tetap saja. Bagi mereka adalah perempuan akan terus terhormat ketika, negara khilafah
ditegakkan.

Muslimah kaffah bagaimana sebenarnya? Kaffah kita maknai benar-benar atau secara menyeluruh. Artinya, Muslimah kaffah adalah perempuan muslim yang benar-benar menjalankan aturan Islam secara menyeluruh. Pemaknaan agama, masing-masing orang berbeda. Salah satunya tentang jilbab. Bagi sebagian ulama, jilbab adalah wajib.

Sedangkan ulama yang lain, tidak wajib, yang penting berpakaian sopan. Pemaknaan jilbab juga beragam, apalagi ditambah dengan trend kekinian dengan istilah syar’i dan tidak. contoh ini yang terkadang disalahpahami sebagai tolok ukur Muslimah kaffah atau tidak. Harusnya, kita sebagai Muslimah bisa memahami keanekaragaman pemahaman yang ada. Sebab yang paling utama untuk dilakukan adalah menghargai perbedaan itu.

Karena hal itu berdasarkan keyakinan dan cara pandang setiap orang dalam beragama. Muslimah kaffah adalah Muslimah yang menyakini kebenaran apa yang diyakini, tanpa mencemooh atau menghujat pemaknaan Muslimah lainnya dalam beragama. Meskipun demikian, perempuan pejuang khilafah memiliki pemaknaan yang berbeda. Mereka harus tetap berjuang, berdakwah untuk menegakkan khilafah agar menjadi Muslimah kaffah. Doktrin itu semu, dan semata-mata tujuan politik semata. Wallahu a’lam

TERBARU

Konten Terkait