29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Syekh Hasan Besari : Perang Ideologis non Praktis Berpendekatan Moral untuk Perdamaian (2)

Deklarasi kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan dibacakannya naskah teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 berkaitan erat dengan pengimplementasian moderasi bernegara. Titik kesepakatan yang bermuara pada dipilihnya Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk negara telah mengenyampingkan kepentingan agama dan politik. Kesepakatan final ini tentunya tidak terjadi begitu saja, proses dialektika nilai syariat Islam dengan budaya local yang eksis sebelumnya telah banyak mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh penggagas proklamasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasaruddin Umar yang menyatakan bahwa dialektika agama dan budayalah yang mempertemukan jalan panjang moderasi bernegara dan beragama di Indonesia.

Salah satu tokoh pra kemerdekaan yang berhasil menunjukkan komitmen kebangsaan yang akomodatif terhadap kebudayaan local adalah Syekh Hasan Besari. Namun sayangnya berabad-abad setelah Syekh Hasan Besari membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menginternalisasi kearifan local, dan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, konflik antar golongan justru merajalela. Sentiment keagamaan semakin tinggi, dan banyak ditemukan kasus intoleran terhadap budaya local. Permasalahan yang komplek tersebut bermuara pada gagapnya nilai kebangsaan masyarakat Indonesia.

Salah satu nilai tambah dari perjuangan Syekh Hasan Besari adalah bagaimana beliau mampu melakukan pemberdayaan masyarakat berbasis pesantren dalam segala bidang dan aspek. Baik dalam bidang perekonomian, pendidikan, dan politik secara seimbang dan proporsional. Sehingga kehadiran dan ketokohannya benar-benar melebur antara pesantren dan masyarakat.

Posisi Pesantren dalam Lingkaran Perang Jawa

Berdasarkan semangat jihad yang diusung tersebut, pesantren kemudian diposisikan sebagai factor terpenting dalam Perang Jawa. Karena spirit dan ruh perjuangan dalam perang Jawa bukan hanya melawan kekejaman colonial dan pejabat yang tidak amanah atas rakyat semata, namun perang atas kedzaliman kafir Belanda. Tercatat sebanyak 108 kyai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu keratorn, dan 4 mursyid tarekat terlibat dalam perang besar ini.

Banyaknya massa dari elemen santri dan masyarakat yang dimiliki Syekh Hasan Besari, serta kemajuan pesantren Tegalsari menjadi salah satu alasan Pangeran Diponegoro untuk melibatkan pesantren Tegalsari dalam Perang Jawa. Tawaran tersebut disambut dengan baik oleh Syekh Hasan Besari, karena kesamaan misi antar keduanya bahwa kedzaliman harus dilawan dan perjuangan menuju kemanusiaan harus diupayakan. Menurut Saifuddin, tawaran ini tentunya bukan hal mudah untuk diputuskan, Syekh Hasan Besari berada dalam dua pilihan yang sama-sama sulit.

Ikut angkat senjata menegakkan syariat Islam melawan colonial dengan resiko hancurnya pesantren Tegalsari dengan segala system Pendidikan dan perekonomian yang sudah tertata jika ternyata mengalami kekalahan, atau tidak berperang dan mendapat tuduhan mencari aman. Pada akhirnya beliau memilih untuk memberikan dukungan moral dan spiritual namun tidak terlibat dalam politik praktis. Syekh Hasan Besari berpegang teguh pada pola pendidikan pesantren yang bernuansa edukasi dan memberikan teladan kepada masyarakat.

Keberlangsungan stabilitas sosial-ekonomi menjadi pertimbangan yang paling dominan sehingga memutuskan untuk tidak menurunkan pasukan secara fisik untuk angkat senjata. Sikap diplomatis juga ditunjukkan oleh Syekh Hasan Besari dalam posisi ini. Pangeran Diponegoro berasal dari kesultanan Yogyakarta, sedangkan Tegalsari berada di bawah kasunanan Surakarta. Secara administratif, kedua wilayah tersebut berada dalam Kawasan territorial yang berbeda.

Tokoh yang terlibat pun banyak yang berasal dari loyalis Pangeran Diponegoro yang juga bertujuan menggulingkan kesultanan yang sah. Maka Syekh Hasan Besari lebih memilih politik pesantren daripada terlibat dalam politik praktis tersebut. Mengedepankan harmoni dan keberlanjutan stabilitas perekonomian di tengah konflik kepentingan keraton dan colonial. Sikap yang diambil Syekh Hasan Besari untuk memberikan dukungan moral dan spiritual tanpa terjun ke medan perang terhadap Pangeran Diponegoro menjadi teladan bagi santri-santrinya.

Teladan untuk menyikapi konflik kenegaraan dan kebangsaan karena Kyai adalah figure utama santri. Kemaslahatan, pengayoman terhadap masyarakat Tegalsari, keberlanjutan pesantren, dan menjaga relasi antar keraton menjadi pertimbangan yang mendominasi putusan Syekh Hasan Besari saat itu.
Nilai yang ditanamkan kepada santrinya adalah perjuangan untuk membebaskan manusia dari belenggu penjajahan. Namun cara yang dilakukan bisa dengan berbagai cara, dan kesemuanya memiliki dampak positif dan negative masing-masing. Pangeran Diponegoro mengambil jalan perang, sedangkan Syekh Hasan Besari memilih pendekatan jalur pesantren melalui pendidikan. Keduanya tidak ada yang salah karena memiliki misi yang sama hanya berbeda cara.

Menuju tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, berlandaskan nilai syariat Islam bisa dicapai salah satunya jika masyarakat memiliki bekal pendidikan yang tinggi dan perekonomian yang mandiri. Mengutamakan perdamaian dan merawat keharmonisan harus diutamakan sebelum memilih jalur perang maupun litigasi. Sikap tersebut yang harus diteladani oleh generasi masa sekarang. Bahwa pada dasarnya perjuangan melawan kedzaliman adalah kewajiban bagi setiap muslim. Hanya cara untuk melawannya bisa jadi berbeda sesuai dengan profesi, jabatan, dan kondisi masing-masing.

TERBARU

Konten Terkait