Indonesia adalah Rumah Bersama: Bagaimana dengan Minoritas?

“Jika Indonesia rumah bersama, bagaimana dengan minoritas yang selama ini tidak pernah mendapatkan hak untuk menjalankan ibadah dengan tenang. Bagaimana dengan saya yang berasal dari daerah Timur, tidak tahu tentang wayang, sehingga tidak bisa menempatkan diri di posisi mana ketia terjadi banyak sekali perdebatan wayang.”

Pertanyaan itu hadir oleh seseorang peserta dalam acara seminar kebangsaan yang bertajuk “Merawat Kebinekaan dalam Bingkai Keindonesiaan” yang diadakan oleh Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian bekerjasama dengan ISAIs (Insitute of Southeast Asian Islam) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara tersebut dilaksanakan di Convention Hall Center UIN Suka pada 18 April 2022. Setidaknya, ada beberapa pemateri yang hadir pada kesempatan itu, diantaranya: Al-Makin (rektor UIN Suka), Jay Ahmad dan Mustaghfiroh Rahayu.

Indonesia adalah Rumah Bersama: Bagaimana dengan Minoritas?

Menarik sekali untuk mengulik pertanyaan di atas. Sebab perlu ditegaskan kembali bahwa, setiap daerah di Indonesia, memiliki budaya yang berkembang sangat berbeda. Budaya Timur tentu berbeda dengan Jawa, berbeda pula dengan budaya di perkotaan. Sehingga menjadi wajar ketika kita merasa tidak tahu tentang suatu budaya meskipun banyak perdebatan terjadi. Bagaimana menyikapi konteks wayang yang beberapa waktu lalu menjadi perbincangan yang sangat ramai?

Membumikan toleransi dengan banyak cara
Jay Ahmad, salah satu pemateri dalam acara itu, menjawab kegelisahan tersebut dengan beberapa penjelasan yang cukup memberikan pencerahan, yakni
“Ibarat kita rumah, tidak semua orang di dalamnya mirip. Namun, jika
rumah diambil oleh orang di luar rumah. Kita merasa hilang. Artinya,jika hal itu terjadi di Indonesia, maka kita akan merasa hancur,selayaknya kehilangan Indonesia. Pengibaratan rumah digunakan agar kita memahami ada ikatan. Hal inibukan levelling tapi berjalan secara ukhuwah yang ini, tidak kemudianberbeda level namun menjadi ukhuwah wathaniyah sesama bangsa, tapipersaudaraan itu tidak selesai dengan adanya ukhuwah basyariyah. Kitamemaknai setiap orang yang berbeda bahwa setiap orang adalah saudara
.
Tidak hanya itu, Menjiwai persaudaraan kebangsaan dan persaudaraan manusia, adalah kewajiban kita semua. Salah satu cara membumikannya yakni dengan toleransi yang harus terus diupayakanmelalui perjumpaan yang berbeda.

“Gus Dur Ketika bertemu dengan salahsatu pemimpin negara yang umat islamnya sedikit, Gus Dur berkata bahwaKetika menghargai umat minoritas, karena itu adalah hak yang sudahmelekat pada dirinya sejak lahir,” tambahnya.

Disamping itu, Prof. Dr. Phil. Al-Makin, rektor UIN Suka, menjelaskan hal yang sama tentang pentingnya toleransi dalam menciptakan perdamaian. Apalagi dengan banyaknya kasus-kasus intoleransi, seperti penolakan rumah ibadah, serta pemaksaan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.
Prof. Al-Makin, jusru memiliki cara yang berbeda dalam membumikan toleransi. Menurutnya, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pertemuan dengan cara yang unik. Hal ini bisa dilakukan dengan seni. Bermacam-macam seni bisa dipertunjukkan, mulai dari klasik hingga modern. Cara itu menjadi alternatif utama yang bisa diterima oleh masyarakat, khususnya yang plural.

“Kalau kita pakai cara akademis, menulis buku, atau sejenisnya. Saya yakin tidak semua orang membacanya. Nah, kalau melalui seni, bisa dinikmati oleh semua kalangan. Apalagi kalangan masyarakat yang bukan akademisi, melalui seni tidak lain sebagai ekspresi yang sangat baik untuk membumikan toleransi,” Ungkap Al-Makin.

Islam Indonesia adalah solusi dari keragaman

Keragaman adalah milik semua. Hal itu seperti konsesus yang wajib kita terima sebagai umat manusia, apalagi yang tinggal di Indonesia, negara pluralistik. Untuk menciptakan dimanika kehidupan yang baik, maka toleransi adalah hal wajib yang perlu ditegakkan.

Meskipun demikian, menurut Mustaghfiroh Rahayu, menjelaskan ada banyak ancaman keragaman yang dimiliki oleh Indonesia, setidaknya menurut Azyumardi Azra, ada 6 ancaman tersebut, antara lain: disrupsi sosial budaya dalam masyarakat, ada keinginanpenyeragaman kehidupan masyarakat, kesenjangan ekonomi, praktik hukumyang tidak adil, ancaman hegemonisasi politik, adanya politikidentitas.

“Islam Indonesia adalah Islam yang mampu menjawab ancaman tersebut. sebab Islam Indonesia adalah yang keluar dari ekspresi sehari-hari,sesuai dengan budaya dan kultur yang ada di masyarakat. Islam diIndonesia, banyak sekali teks-teks pinggiran yang dihidupi olehmasyarakat, berupa budaya yang berkembang di pelbagai daerah,” jelas Mustaghfiroh dalam forum tersebut.

Dengan demikian, umat Islam memiliki tanggung jawab yang lebih besar sebagai penganut agama terbanyak dibandingkan dengan yang lain, melalui ajarannya yang harus ramah dan merangkul seluruh perbedaan.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top