Kebengisan kelompok radikal ISIS yang sempat menggegerkan penjuru dunia atau serangan teroris yang mengatasnamakan Islam sempat membuat banyak orang menganggap bahwa agama adalah penyebab orang berbuat kejam. Belum lagi perang yang terus berkecamuk di Timur Tengah dan perebutan kuasa yang selalu berlindung di balik topeng ayat-ayat suci, kesemuanya menyebabkan orang awam melihat bahwa agama adalah penyebab utama konflik di seluruh dunia.
Padahal, jika mau melihat gambaran umumnya, agama lebih jauh berkontribusi sebagai pendukung keharmonisan, dibandingkan pemicu pertikaian skala besar. Penelitian oleh Institute for Economics and Peace (IEP) telah menunjukkan bahwa dalam hal mempengaruhi tingkat perdamaian di dalam negara, agama berkontribusi luas untuk mendudukkan pihak-pihak yang berkonflik untuk kemudian saling berdiskusi demi menyepakati perdamaian.
Tak hanya itu, merujuk penelitian lain yang diterbitkan pada tahun 2014, faktor sosial ekonomi lainnya memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap stabilitas wilayah daripada agama. Korupsi, produk domestik bruto (PDB) per kapita, ketimpangan, gender, teror politik, dan kohesi antarkelompok semuanya memiliki hubungan yang lebih signifikan dengan tingkat perdamaian suatu negara daripada justifikasi agama. Melihat hasil studi tersebut, bisa disimpulkan bahwa klaim media acap kali tak melihat gambaran besar dari realita.
Padahal faktanya, semua agama, termasuk ketiga agama Ibrahim mengandung jaminan yang kuat untuk menciptakan perdamaian. Bahkan dilihat dari fakta sejarah, banyak sekali mediasi perdamaian difasilitasi oleh para pemimpin agama dan lembaga. Misalnya, Dewan Gereja-Gereja Dunia dan Konferensi Gereja- Gereja Seluruh Afrika menengahi perjanjian damai tahun 1972 yang berumur pendek di Sudan. Di Afrika Selatan, berbagai gereja berada di garda depan perjuangan melawan apartheid dan transisi damai.
Kasus yang paling dramatis dan paling sering dikutip adalah keberhasilan mediasi yang dicapai Komunitas Egidio yang berbasis di Roma untuk membantu mengakhiri perang saudara di Mozambik pada tahun 1992. Di Indonesia, hampir 500 wanita dari semua berbagai latar belakang, termasuk para ulama perempuan adalah aktor kunci yang mendorong dialog bersama demi berakhirnya konflik Aceh pada Februari 2000. Mereka menyerukan dialog sebagai prioritas dalam menyelesaikan konflik.
Mereka bahkan merumuskan 22 poin rekomendasi yang ditujukan kepada berbagai pihak, termasuk kepada Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid. Bahkan saat dilangsungkannya perundingan antara GAM dan Pemerintah Indonesia, Shadia Marhaban menjadi salah satu dari sedikit wanita Muslim yang diminta untuk duduk di meja perundingan formal. Dia bergabung dengan sembilan anggota tim perunding kelompok pemberontak (GAM) waktu itu.
Dengan posisinya, ia mencoba untuk menyuarakan isu gender dan perspektif agama yang erat kaitannya dengan perjuangan mencapai situasi damai. Walau akhirnya banyak isu gender justru belum sepenuhnya mendapat tempat dalam pakta perjanjian. Melihat berbagai contoh yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, terlihat sekali bahwa para pemimpin agama nampaknya memiliki peran signifikan dalam menyuarakan perdamaian ketika mereka berasal dari komunitas agama yang berbeda.
Ketika agama mengeksplorasi dan mengamalkan nilai-nilai bersama, seperti keadilan dan kasih sayang dalam kehidupan publik, para pemimpin agama dapat menjadi inspirasi serta teladan bagi orang lain. Inspirasi nilai agama yang mendorong terciptanya situasi damai juga diyakini oleh aktivis dari Afrika, Hizkias Assefa. Ia menyampaikan bahwa, “membawa dimensi spiritual ke dalam proses perdamaian dapat menciptakan akses yang luas dan lebih mendalam kepada semua pihak yang sedang terlibat dalam konflik”.
Hal ini juga memungkinkan mereka untuk menganalisa secara kritis sikap dan tindakan mereka sendiri selama pertikaian berlangsung. Sebab, jika kita mau memahami, biasanya perilaku konflik seseorang sering kali didasarkan pada pertimbangan yang lebih emosional. Sehingga hanya mengedepankan diskusi rasional melalui meja perundingan tidaklah cukup. Keputusan dan komitmen kognitif yang dibangun secara terus menerus, termasuk melalui penguatan nilai-nilai agama, justru akan bisa efektif.
Terlebih jika prinsip-prinsip dasar agama diterjemahkan ke dalam perasaan dan tindakan untuk mewujudkan situasi damai. Jika didalami lebih lanjut mengapa agama bisa menjadi pendorong resolusi konflik, alasannya yaitu sumber daya agama memiliki elemen-elemen yang mendukung orang untuk menjauhkan diri dari konflik. Elemen-elemen tersebut di antaranya: ide-ide keagamaan (konten kepercayaan), praktik keagamaan (perilaku ritual), organisasi sosial (komunitas agama), dan pengalaman religius-atau spiritual.
Dimensi-dimensi tadi saling berkelindan, serta semuanya dapat dijadikan akselerator untuk mencapai perdamaian. Tak hanya itu, tiap agama di dunia selalu menekankan pada empati dan kasih sayang, oleh karenanya dalam negosiasi konflik, pemanfaatan kedua atribut ini dapat secara efektif menggiring seluruh untuk menyepakati penghentian perang demi kebaikan seluas-luasnya.