Beberapa hari lalu, Ramai sebuah video perempuan dengan jilbab panjang warna hitam, mengendarai motor dan menabrakkan diri ke pintu kaca SPKT Mako Polres Pematangsiantar Jl. Jend. Sudirman No. 8, Kel. Proklamasi, Kec. Siantar Barat, Kota Pematangsiantar. Perempuan itu bernama Fitri Arni Martondang. Usut punya usut, ternyata ia melakukan aksi frontal itu lantaran sakit hati akibat penangkapan yang dilakukan oleh polisi kepada Habib Rizieq Shihab. Ditambah dengan kasus KM50 yang ia rasa tidak adil kepada korban, yakni laskar FPI.
Mengapa perilaku tersebut bisa terjadi? Kita pahami bahwa, pola pikir yang terbangun dalam diri perempuan tersebut terbentuk pola bahwa, apa yang dilakukan oleh Habib Rizieq Shihab bukanlah sebuah kesalahan. Lebih jauh, anggapan tersebut seolah-olah menjelaskan bahwa, sikap fanatik dalam beragama, menyebabkan seseorang akan melakukan aksi di luar nalar. Dalam kasus ini, perilaku Fitri seperti aksi bom bunuh diri, meskipun bukan bom yang digunakan untuk menyerang kantor kepolisian itu.
Mengapa tindakan ini bisa dilakukan dengan berani oleh seorang perempuan? Perempuan sangat loyal terhadap apapun Laporan PPIM menjelaskan bahwa posisi perempuan dalam paham keagamaan, di tengah meningkatnya konsumsi belajar ilmu agama di media sosial, membuktikan bahwa, perempuan memiliki loyalitas serta fanatisme yang tinggi terhadap keberagamaan. Lebih jauh, penelitian tersebut menjelaskan pula, ketika perempuan terpapar radikalisme, liberalism, ataupun fanatisme, akan lebih tinggi dibandingkan dengan laki- laki.
Dengan porsi tersebut, para perempuan lebih aktif menyampaikan cara pandang keagamaan mereka saat di media sosial dibandingkan laki-laki. Proporsi perempuan adalah sebesar 52% untuk tweet yang bersifat liberal, moderat dan konservatif, sedangkan laki-laki sebesar 48% saja. Sementara di kategori paham keagamaan islamis, perempuan memliki proporsi yang lebih tinggi (54%) dibandingkan laki-laki (46%).
Sebenarnya, loyalitas perempuan dalam banyak hal bisa dilihat. Dalam penggunaan kosmetik halal misalnya. Penelitian Jihan (2021) menjelaskan bahwa, loyalitas perempuan terhadap pembelian produk kosmetik halal, dipengaruhi oleh tingkat religiusitas perempuan. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi kepada pemeluk agama Islam, akan tetapi juga berlaku pada, pemeluk agama Kristen, Hindu, Buddha, dll.
Dalam term terlibatnya perempuan pada gerakan terorisme, menjelaskan bahwa loyalitas perempuan lebih tinggi dikarenakan faktor emosional. Hal itu pula yang mendorong keterlibatan aktif para perempuan di garda depan dalam gerakan bom bunuh diri, hingga gerakan ekstrem lainnya. Melalui data tersebut, kita bisa memahami bahwa, posisi perempuan dalam paham keagamaan, cenderung memiliki sikap yang lebih fanatik terhadap ajaran agama.
Bahaya fanatisme pada kehidupan beragama perilaku Fitri merupakan implementasi dari fanatisme beragama. Jika hal itu dimiliki oleh setiap orang dalam keberagamaan, maka konflik sosial yang memicu terhadap meretaknya hubungan dalam berbangsa dan bernegara juga akan bermasalah. Hal itu pula yang menyebabkan citra dari suatu agama menjadi buruk di kalangan penganut agama lain. Karena menimbulkan banyak masalah sosial dan menjadi penyebab dari kerusuhan yang terjadi.
Lalu, apa saja faktor yang menyebabkan agama memiliki citra yang rusak?
Pertama, eksklusivitas dalam beragama. Kita pahami bahwa, suatu agama akan rusak ketika penganutnya tidak mau memiliki hubungan dengan penganut agama lain. Klaim kebenaran kepada agamanya sendiri harus ada pada setiap penganut agama. Akan tetapi, hal itu tidak boleh menjadi kampanye kepada penganut agama lain. Apabila
itu dilakukan, maka sikap eksklusif tersebut berbahaya pada tatanan sosial. Kedua, taqlid buta (ketaatan buta).
Ketaatan buta ini dimiliki oleh seseorang dalam melakukan spiritualitas agama. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh Fitri bisa kita sebut sebagai perilaku taqlid buta. Hal itu karena, ia menghalalkan segala cara akan sakit hatinya, tanpa melihat apa saja kesalahan yang dilakukan oleh pemimpinnya sehingga menyebabkan dia dipenjara.
Ketiga, merindukan zaman ideal. Sebagian kelompok agama merindukan zaman ideal, dimana semua penduduk di dunia ini harus beragama seperti dirinya. Khayalan semacam itu akan menyebabkan gesekan pada antar kelompok beragama Keempat, tujuan yang membenarkan pelbagai cara. Jika melihat munculnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam, sebenarnya hal itu juga menjadi cara bahwa, mereka melakukan apapun agar tujuan mereka tercapai.
Mereka menentang pemerintah yang sah, menyalahkan pemerintah yang sah serta menyerukan kembali ke Islam dengan cara apapun. Kelima, bungkus religiusitas, selalu menarik untuk dikampanyekan. Faktor -faktor tersebut bisa dipahami bahwa, posisi agama dalam kehidupan sosial menjadi sangat buruk ketika para pemeluk agama sudah memiliki pemahaman seperti di atas.