Kisah Kartini Panggabean: Perjuangan dalam Penyembuhan Ekstremisme

Sebuah Film pendek berjudul “Boru Bawa Damai” yang menceritakan tentang perempuan dan kontra terorisme oleh Srikandi lintas Iman (Srili) Yogyakarta diluncurkan pada 27/03/22/ kemarin di Masjis Fadhli Umar, Yogyakarta. Film ini menarik untuk ditonton oleh semua kalangan karena menceritakan tentang perempuan yang pernah hidup dalam lingkaran ekstremisme.

Dalam film tersebut, sebuah kisah haru ditampilkan, yakni perempuan yang bernama “Kartini Panggabean”. Jika kita mencari namanya melalui google, yang kita temukan adalah gambar perempuan sedang menggendong anak kecil. Ya! Itu adalah Kartini yang sedang menemani suaminya, Khairul Ghazali, ketika ditangkap oleh densus 88 karena terlibat terorisme, pada tahun 2010 silam.

Kisah Kartini Panggabean: Perjuangan dalam Penyembuhan Ekstremisme

Khairul Ghazali, merupakan pelaku perampokan di CIMB Niaga, serta pelaku bom di Sumatera Utara. Ekstremisme adalah ideologi dan susah di lawan Kartini Panggabean, tokoh dalam film tersebut menceritakan banyak hal tentang kisah struggle keluar dari pemahaman keras itu. Semenjak suaminya ditangkap oleh densus 88, kita akan melihat bagaimana Kartini harus ke pengadilan dengan seorang anak yang digendongnya untuk mendampingi suaminya itu.

Dalam fase kehidupan semacam itu, kartini mengalami fase begitu berat. Memiliki anaknya yang masih kecil serta mendampingi suaminya. “Ekstremisme, radikalisme dan terorisme itu adalah ideologi. Untuk melawan itu sangat susah. Karena letaknya di pikiran,” ungkap Kartini dalam video tersebut.

Meskipun demikian, Kartini mengaku bahwa sangat bahagia bisa menjalani proses panjang itu dengan baik. Proses hidup yang sangat panjang dengan kisah yang begitu sedih, tidak lantas membuatnya kecewa ataupun sedih dengan pemerintah. Justru, Kartini dengan suaminya kemudian mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan. Dengan proses yang sangat panjang, dibantu oleh pemerintah khususnya BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Kartini dengan suaminya, mendirikan pondok pesantren yang dikhususkan untuk anak-anak napiter. Tentu, pendidikan tersebut gratis sehingga bisa memudahkan anak-anak untuk menempuh pendidikan. Akan tetapi, lambat laun, ketertarikan masyarakat lebih luas untuk menempuh pendidikan di pesantren tersebut semakin banyak.

Akhirnya, pesantren itu tidak hanya khusus untuk para anak-anak napiter. Akan tetapi juga, semua masyarakat yang tertarik untuk menempuh pendidikan di pesantren itu bisa masuk dalam pesantren itu. Tidak hanya itu, kegiatan Kartini dengan suami juga ditambah dengan berkebun. Dalam video tersebut, Kartini memanfaatkan lahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, seperti: tanaman cabai, serta tanaman kebun lainnya.

Perempuan memiliki peran penting Perempuan memiliki banyak peran ketika dihadapkan oleh paham radikalisme, ekstremisme hingga terorisme. Beberapa kasus menjelaskan bahwa, ada sebagian kisah perempuan yang tidak tahu bahwa suaminya terlibat dalam paham ekstremisme, bahkan menjadi teroris. Sehingga ketika ditangkap oleh densus 88, perempuan tersebut kaget dan tidak percaya bahwa suaminya adalah seorang teroris.

Dalam kasus ini, kita pahami bahwa, relasi perempuan dengan laki-laki harus tercipta komunikasi yang terbuka, komunikasi yang mengerti satu sama lain. Sehingga ketika terjadi sesuatu pada masing-masing keluarga (red; istri atau suami), anggota keluarga memiliki alasan kuat untuk mendukung, atau bahkan meninggalkan ketika ada terjerat sebuah kasus. Salah satu kasusnya yakni, dalam persoalan terorisme.

Pada term yang begitu luas, beberapa perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme yakni, faktor suami yang juga ikut terlibat. Dalam hal itu, keikutsertaan perempuan dilatar belakangi oleh beberapa hal, seperti: dogma, ekonomi, dll. Maka tidak heran, ketika suami terlibat dalam aksi terorisme, sang istri juga ikut. Sejalan dengan penjelasan di atas, dilansir dari MediaIndonesia, Valentina Gintings, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA menjelaskan bahwa, perempuan dan anak dapat berada dalam 3 posisi pada pusaran terorisme, pertama sebagai kelompok rentan terpapar, kedua sebagai korban, dan ketiga sebagai pelaku.

Faktor itu sejalan dengan kisah Kartini yang terlibat dalam pusaran paham sesat itu. Beruntungnya, dalam proses penyembuhannya, ia dengan suami kemudian berkhidmat untuk bangsa. Pasca kehidupannya yang salah itu, Kartini mengakui bahwa, Pancasila adalah dasar negara, serta mengakui pemerintahan yang sah. Kisah Kartini adalah refleksi kita semua, agar tidak menyentuh paham ekstremisme yang membawa kita kepada kesengsaraan.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top