Ketika Emak-emak Melawan Terorisme dengan Cinta

Seperti kebanyakan ibu di dunia, Saliha Ben Ali selalu bermimpi bahwa ke depan, ia akan mampu menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa dan meraih cita-cita yang mereka impikan. Wanita keturunan Tunisia yang kini berdomisili di Brussels Belgia tersebut tak menyangka harapannya pupus saat anak keduanya, Sabri tiba-tiba meninggalkan rumah pada Agustus 2013 lalu. Anak laki-lakinya hanya berpesan bahwa ia pergi untuk menyelamatkan dunia. Tak lama kemudian, ia mengabarkan sudah menginjakkan kaki di Suriah, yang justru membuatnya tak bertahan hidup lama setelah itu.

Meninggalnya Sabri menghentakkan dunia Saliha. Ia tak pernah menyangka putranya akan senekat itu. Semasa Sabri di Suriah, berkali-kali Saliha mencoba meyakinkan buah hatinya untuk kembali. Namun pesan-pesannya selalu gagal menyentuh relung hati sang anak untuk pulang ke rumah. Terakhir, Sabri menyampaikan kembali bahwa ia menyayangi ibu dan keluarganya, Saliha pun mengirim emoji cinta sebagai balasan. Tapi, akhir 2013 sang putra akhirnya meregang nyawa di daerah konflik.

Ketika Emak-emak Melawan Terorisme dengan Cinta

Dr Edit Schlaffer dari organisasi Women Without Borders dan Mothers’ Schools, menyampaikan bahwa kita tak bisa serta merta melawan pemikiran anak yang teradikalisasi dengan logika. Para teroris cukup pintar dalam menyalahgunakan ayat- ayat agama untuk mencuci otak korban-korban yang mereka jerat, sehingga kita tak bisa menggunakan trik yang sama. Justru akal muslihat mereka perlu dilawan dengan membangun keterkaitan emosional yang tinggi antara anak dan orangtua.

Sayangnya, di era internet yang canggih ini, hubungan interpersonal dengan keluarga tidaklah mudah dijalin hingga menciptakan fondasi yang kuat. Orangtua yang malas cenderung memanjakan anak dengan ponsel agar tak mengganggu ayah-ibunya. Padahal celah kesenjangan hubungan ini lah yang kemudian diisi oleh kelompok radikal untuk menjaring anggota-anggota baru. Mereka menjejali korban dengan argumen-argumen tertentu yang juga dibumbui sana sini agar terdengar lebih emosional.

Usai berhasil memetakan pola rekrutmen teroris tersebut, akhirnya muncullah keputusan untuk menyatukan semua kelompok dan keluarga yang orang terdekatnya terjerat terorisme dan radikalisme, untuk membentuk sebuah wadah pemikir anti-teror yang berbasis di London. Gagasan dari Quilliam Foundation itu lalu disambut baik oleh banyak pihak, termasuk Saliha yang berpikir bahwa cukup anak keduanya saja yang menjadi korban. Untuk mengatasi kesedihan atas kehilangan Sabri, Saliha dan suaminya mencari penghiburan dengan orang tua lain yang bernasib sama.

Bersama-sama, mereka mencoba menemukan jawaban mengapa anak-anak mereka memutuskan untuk memutuskan semua ikatan keluarga dan mengejar konsep jihad yang ditawarkan oleh ISIS. Saliha ingin mencegah lebih banyak anak muda jatuh ke dalam perangkap yang sama dan telah berkomitmen untuk memerangi jaringan jihad sesat yang menghancurkan masa depan putranya. Dia juga bersikeras untuk melawan pengucilan yang dia dan orang tua lainnya alami akibat miskonsepsi akan problem rekrutmenkelompok teror.

Bersama orang tua lainnya, Saliha Ben Ali mencoba memahami proses radikalisasi dan memperingatkan kaum muda untuk mengenalinya dan tidak terjerumus ke dalamnya. Dia juga membantu penyelidikan jaringan jihad yang merekrut anak muda. Dari komunitas ini, Saliha banyak belajar dari para akademisi dan aktivis yang mengkhawatirkan gerakan terror yang mulai merajalela. Ia bahkan membantu komunitas yang hampir sama di skala lokal.

Komunitasnya ia namai “SAVE BELGIUM”, Society Against Violent Extremism Belgium atau Komunitas Perlawanan Kekerasan dan Ektremisme Belgia. Tujuan utama dari asosiasi ini adalah untuk mendukung keluarga yang menghadapi masalah kehilangan atau keberangkatan anak mereka ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis. Akan tetapi, di saat yang sama juga ingin membangun kesadaran kaum muda terhadap segala bentuk politisasi.
Begitu juga dengan identitas termasuk agama, etnis, dan lainnya untuk kepentingan kelompok teroris. Pendirian komunitas SAVE BELGIUM kemudian membantu Saliha untuk membicarakan itu di sekolah, asosiasi pemuda dan pusat penahanan remaja dan penjara. Ia mengaku bahwa kini ia semakin aktif menyuarakan pencegahan rekrutmen terorisme.

“Saya juga sering dipanggil mengunjungi keluarga yang berada dalam keputusasaan. Namun, selalu saya yakinkan mereka bahwa tidak ada kata terlambat. Mereka perlu usahakan sampai titik akhir. Dan, saya tetap yakin bahwa ibu memainkan peran sentral dan kritis dalam pencegahan dan perang melawan segala bentuk radikalisme.”

Sekarang dengan tantangan yang semakin meningkat, Saliha menyadari bahwa ia akan terus bergerak. Ia dan para ibu lain yang tergabung dalam komunitasnya yakin bahwa suatu hari nanti cinta dan kasih sayang lah yang akan menang melawan ekstremisme kekerasan.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top