Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan dengan tertangkapnya seorang ibu tiga anak di daerah Brebes, Jawa Tengah yang berusaha membunuh anak-anaknya. Kanti, nama perempuan tersebut melakukan tindak kekerasan hingga satu anak tewas, dan dua anak lainnya luka-luka. Ketika ditanya mengenai alasannya menganiaya para buah hati, Kanti menyampaikan bahwa ia justru ingin menyelamatkan mereka.
Lewat video yang viral di media sosial, ia nampak menjelaskan bahwa ia cemas akan keselamatan ketiganya, dan tak tega mereka dimarahi ayah mertuanya. Oleh karena itu, jalan terbaik bagi buah hatinya adalah meninggal dunia. Berdasarkan penyelidikan sementara, pembunuhan yang dilakukan oleh Kanti bermuara dari depresi berat. Ia ditengarai kekurangan finansial dan berada di lingkungan yang tidak kondusif.
Di satu sisi, suami yang bekerja sebagai buruh kasar di luar kota tidak memiliki penghasilan yang tetap. Kanti pun turut cemas, jika nanti sang suami kontrak kerjanya habis sedangkan kebutuhan mereka semakin hari semakin banyak. Kasus sejenis juga sempat terjadi pada tahun 2006 lalu di Bandung. Seorang ibu bernama Aniek Qoriah Sri Wijaya diamankan pihak kepolisian setelah ia melakukan pembunuhan terhadap tiga anaknya yang masih kecil. Berturut-turut mereka berusia 9 bulan, 4 tahun, dan 6 tahun.
Aniek, lulusan planologi ITB membunuh keturunannya karena persoalan finansial. Keluarga mereka hanya mengandalkan pemasukan dari sang suami yang gajinya pas-pasan. Di satu sisi, Aniek dilarang bekerja oleh suaminya. Ketika pemasukan dan kebutuhan mereka tak seimbang, si anak bungsu justru sakit- sakitan dan itu membuat pengeluaran rumah tangga mereka membengkak. Berbeda dengan kasus Kanti yang anak-anaknya ada yang masih bisa selamat. Semua keturunan Aniek meninggal dunia.
Apa yang dilakukan oleh Kanti dan Aniek tadi bisa digolongkan sebagai filicide. Filicide ini adalah tindakan orang tua yang dengan sengaja membunuh anak mereka sendiri. Kata filicide berasal dari kata Latin filius dan filia (‘putra’ dan ‘putri’) dan akhiran -cide, yang berarti membunuh, membunuh, atau menyebabkan kematian. Pembunuhan anak oleh orang tua (filiside) juga termasuk salah satu jenis kejahatan yang paling tragis.
Bahkan lebih menyedihkan lagi jika sang ibu yang menjadi pelaku utamanya. Sebab, masyarakat kita cenderung berekspektasi tinggi terhadap posisi ibu, dibandingkan ayah, utamanya bila dikaitkan dengan parenting. Kita acap kali mengharapkan ibu untuk tidak mementingkan diri sendiri, dan alangkah baiknya jika mereka lebih mencintai dan melindungi anak-anak mereka dengan segala cara (Pagelow, 1984).
Sosok ibu bahkan kerap disandingkan seperti malaikat bagi keturunannya, membuat mereka bahkan lebih mawas tentang kebutuhan anak-anak mereka, dan bersedia mengalah demi keinginan anggota keluarga yang lain (Barnett, 2006). Atas dasar itu pula, beberapa kelompok radikal dan teroris beberapa kali memanfaatkan kelengahan, depresi, frustasi sang ibu untuk menjebak mereka sebagai pelaku kejahatan. Mereka diiming-imingi cara instan menggapai surga ketika mereka tak berdaya menghadapi kesulitan-kesulitan di dunia fana.
Tak hanya itu, kasus terror yang dilakukan di Surabaya tahun 2018 lalu juga sebenarnya bersumber dari kecemasan berlebihan orangtua yang menganggap bahwa negeri mereka tak lagi bernuansa Islami, tapi sudah rusak dan tak dapat diperbaiki kembali. Sebagai orang tua yang meyakini bahwa kehidupan dunia ini sudah demikian kacau balau, dan percaya bahwa ada sebuah kehidupan yang lebih baik setelah kematian mereka, mereka pun menjustifikasinya dengan melakukan tindakan teror (Ismail, 2018).
Menerapkan cara pandang yang menekankan kehidupan akhirat secara berlebih dan menafikan pentingnya merayakan kehidupan dengan cinta dan kasih kepada sesama, akhirnya membuat ayah dan ibu pelaku teror tega membawa serta anak-anaknya ketika melakukan tindak kejahatan. Dengan dasar yang sama, ternyata pemikiran tersebut selanjutnya membuka celah masuknya teologi kematian seperti yang diyakini oleh tiga keluarga pelaku teror di Surabaya itu.
Di sisi lain, ada juga ibu yang terdesak oleh kebutuhan ekonomi, kemudian melihat tawaran yang penuh angan-angan dari ISIS sebagai solusi. Contohnya keluarga Amy dari Riau. Dijanjikan bahwa Negara Islam Irak dan Suriah adalah negara yang makmur dan sebaik-baik tempat beribadah. Keluarga tersebut terperangah ketika sesampainya disana mereka malah dibohongi habis-habisan. Padahal sebelumnya Amy berharap bahwa sepeninggalnya mereka dari Indonesia, mereka akan menyongsong kehidupan yang sejahtera, dan lepas dari derita. Sayangnya, kata-kata manis dari ISIS hanya berhenti di ujung mulut semata.