Nur Dhania, salah satu perempuan yang lolos dari jeratan ISIS ketika bersama dengan keluarganya ke Suriah, sudah melakukan proses deradikalisasi, pernah menceritakan pengalamannya. Pada saat di Suriah, salah satu jihad yang harus dilakukan oleh perempuan adalah memperbanyak anak, menyiapkan makanan bagi para laki-laki yang sedang berjihad, yakni belajar untuk membunuh, merakit bom hingga mengikuti pelatihan-pelatihan ISIS.
Dhania, sapaan akrabnya itu juga menyampaikan bahwa, tidak ada masalah perempuan menjadi istri kedua, ketiga bahkan keempat. Sebab upaya itu bentuk jihad yang sebenarnya dilakukan oleh pihak perempuan. Karena semakin banyak istri yang dimiliki oleh laki-laki, semakin banyak pula anak yang akan dilahirkan untuk dijadikan
penerus perjuangan menuju syurga tersebut.
Beruntungnya, Dhania tidak menjadi bagian dari perempuan yang dipaksa menikah tersebut. Ia kerap kali bercekcok untuk menolak dinikahkan, dijadikan madu, bahkan menolak untuk melakukan jihad, setelah mengetahui bahwa apa yang dilihatnya tidak sejalan dengan informasi yang diterima melalui media sosial saat itu. Kisah Dhania menggemparkan publik. Sebab pasca dari Suriah, ia ikut aktif terlibat dalam forum-forum dialog tentang terorisme.
Hal ini pula yang menjadikan kita paham bahwa media sosial berpengaruh besar terhadap mindset seseorang. Sebab apa yang dilakukan Dhania juga berasal dari konsumsi informasi yang diperoleh melalui facebook. Artinya, trend perekrutan kader teroris melalui media sosial bukanlah hal baru. Jika dibandingkan maraknya media sosial beberapa tahun lalu dengan sekarang justru lebih massif sekarang. Sehingga bisa dijadikan acuan bahwa, perekrutan kader melalui media sosial oleh kelompok teroris tetap dilakukan.
Produksi anak untuk menjadi tantara Tuhan Sejalan dengan cerita Dania, Lies Marcoes dalam bukunya yang berjudul, “Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal,” menjelaskan bahwa, para perempuan yang sudah ikut andil terlibat dalam gerakan terorisme itu, tertanam pikiran bahwa, semakin banyak anak, maka syurga yang akan diperoleh semakin dekat. Sebab yang lahir akan menjadi tantara Tuhan untuk menyebarkan kebenaran dan menjadikan dunia ini. Hal itu, sebagaimana yang cita-citakan Tuhan yakni beragama Islam, menghapus kemungkaran dan lainnya.
Meskipun demikian, menurut Lies Marcoes, pemahaman itu tidak semua dimiliki perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme. Sebab pikirannya berkecamuk untuk juga terlibat dalam gerakan secara langsung. Sehingga tercipta pergeseran pemikiran serta peran yang dilakukan oleh perempuan. Maka trend yang lain muncul yakni, aksi pengeboman yang dilakukan oleh perempuan belakangan ini menunjukkan adanya pemaknaan peran yang lebih jauh dari pihak perempuan.
Kesamaan posisi laki-laki dan perempuan Kedudukan perempuan dan laki-laki sebenarnya dalam Islam. Artinya, baik dari kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang hamba Allah, tidak ada perbedaan. Keduanya wajib untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan yang disudah diperintah oleh Allah. Dengan demikian, hal ini menjadi alasan mengapa perempuan juga terlibat aktif dalam aksi terorisme.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi, diantaranya: Pertama, perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam urusan apapun. Ini artinya perempuan juga bisa melakukan jihad di medan perang. Jika demikian, perempuan tidak memiliki halangan apapun dalam mengemban tugas suci untuk mengibarkan bendara khilafah di manapun, termasuk dengan cara jihad qital (membunuh).
Kedua, karena tujuan jihad qital untuk kepentingan ummah, maka halangan di keluarga seharusnya tidak terjadi. Ini artinya bahwa “ijin” suami atau orang tua bisa jadi tidak menjadi syarat buat perempuan berjihad. Dalam hal ini perempuan bisa merasa sangat independen untuk mengambil keputusan jihad. Ini artinya, tercipta dualisme pemahaman yang bisa dijadikan acuan bagi perempuan untuk memutuskan gerakan yang akan dilakukan.
Meskipun demikian, kedua pilihan itu tidak mengarah pada alasan untuk meninggalkan jihad sesat itu, perempuan tetap andik dalam aksi terorisme, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung. Hanya saja, pemikiran tentang kesamaan perempuan dengan laki-laki menyebabkan gerakan perempuan dalam terorisme semakin kuat. Hal ini juga sejalan dengan kampanye tentang kesetaraan gender yang juga disalahpahami oleh perempuan teroris, yang juga menuntut gerakan sama seperti halnya yang biasa dilakukan oleh laki- laki, yakni aksi pengeboman.