29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Menguatkan Toleransi Beragama Melalui Agensi Perempuan

Data Analisis Pew Research Center terbaru yang dirilis bulan Januari lalu menemukan bahwa 79 negara dan wilayah dari 198 yang diteliti di seluruh dunia atau sejumlah 40% dari total populasi yang diteliti memiliki undang-undang atau kebijakan yang melarang penistaan agama. Sebagian besar merujuk penistaan sebagai ucapan atau tindakan yang dianggap menghina Tuhan atau manusia atau benda yang dianggap suci. Dua puluh dua negara (sekitar 11%) bahkan memiliki undang-undang yang melarang kemurtadan, tindakan meninggalkan agama yang diyakini oleh mayoritas atau yang dijadikan agama acuan oleh negara.

Regulasi tadi sebagian besar diimplementasikan di Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana 18 dari 20 negara (90%) di kawasan itu memiliki undang-undang yang mengkriminalisasi penistaan agama dan 13 di antaranya (65%) melarang kemurtadan. Di Arab Saudi, seorang warga negara India didakwa melakukan penistaan pada tahun 2019, didenda, dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena memposting kritik terhadap Muhammad dan Allah, serta pemerintah Saudi di laman Twitter.

Di antara 79 negara yang mengkriminalisasi penodaan agama, pemberlakuan hukumannya ternyata sangat bervariasi, dari denda, hukuman penjara, pencambukan, hingga eksekusi mati. Di beberapa negara – seperti Afghanistan, Brunei, Iran, Mauritania, Nigeria, Pakistan dan Arab Saudi – pelanggaran undang-undang penistaan agama dengan skala berat bisa berpotensi mengakibatkan nyawa melayang. Di Pakistan sendiri telah tercatat setidaknya 17 orang pernah digadang-gadang akan menerima hukuman mati atas tuduhan penistaan pada tahun 2019.

Termasuk, seorang dosen universitas yang dituduh menghina Nabi Muhammad secara lisan dan di Facebook. Meskipun pemerintah Pakistan tidak pernah benar-benar mengeksekusi siapa pun karena penistaan. Akibat pemberlakuan regulasi yang multitafsir tersebut, semakin banyak korban yang berjatuhan atas tuduhan pelecehan agama. Bahkan di benua Afrika, sekelompok radikal bernama Boko Haram melihat ini sebagai tameng untuk melecehkan perempuan dan kelompok minoritas.

Bukti tindakan ini terlihat jelas ketika pada bulan Mei 2014, dalam sebuah video, pemimpin Boko Haram Abubakar Shekau mengaku bertanggungjawab atas penculikan perempuan. Abubakar Shekau dengan mengatasnamakan anjuran Tuhan, “Allah memerintahkan saya untuk menjualnya (anak-anak perempuan). Saya akan melaksanakan instruksinya. Perbudakan diperbolehkan dalam agama saya, dan saya akan menangkap mereka dan menjadikan mereka budak.

Anak perempuan seharusnya tidak bersekolah dan wajib telah menikah, karena anak perempuan berusia Sembilan tahun sudah cocok dan tepat untuk membina hubungan rumah tangga.” Setahun setelahnya, seorang mantan pendeta Anglikan menghubungi Boko Haram mencoba menegosiasikan pembebasan gadis-gadis itu, dan meminta untuk diberikan bukti kehidupan. Sayangnya, bukti hidup yang dikirimkannya adalah video gadis-gadis yang diperkosa.

Boko Haram mengklaim tindakan mereka adalah bagian dari keyakinan agama yang dipegang teguh, selain juga dari keyakinan yang diperoleh Boko Haram dari organisasi teroris lain, al-Qaida. Di tahun 2015, Boko Haram juga mengaku setia kepada ISIS, dan ISIS pun memuji tindakan Boko Haram. ISIS, seperti yang kita tahu, telah menculik Yazidi, Kristen, dan Syiah, dan telah memperbudak anak perempuan, perempuan dewasa, dan anak laki-laki.

Kejamnya lagi mereka tak hanya dijadikan budak, tapi juga diperkosa, sekali lagi, atas nama agama. Kekejaman ini berlanjut dan laporan baru menunjukkan bahwa banyak gadis yang diculik di Chibok sekarang dipaksa menjadi pelaku bom bunuh diri. Melihat kondisi miris tadi, tentu kita tak bisa hanya berpangku tangan. Alih-alih mempertentangkan nilai-nilai agama dan hak-hak dasar perempuan, kita seharusnya melihat agama sebagai senjata untuk memperjuangkan kehidupan kaum hawa.

Bahkan jika seseorang mengesampingkan kasus Boko Haram dan ISIS, yang berpendapat bahwa agama yang terorganisir selalu dan tetap menjadi musuh terbesar hak-hak perempuan, kita perlu meluruskannya secara konsisten. Bagaimana tidak? Perspektif mereka amat lah sangat kaprah. Di sini jelas sekali bahwa bukan Islam dan agama lain yang salah, tapi cara menafsirkan kelompok radikal inilah yang keliru total.

Sehingga jangan sampai kebebasan beragama hanyalah kendaraan bagi agama yang terorganisir untuk terus menindas perempuan. Wanita feminis di Prancis mengatakan bahwa jilbab adalah simbol penindasan, dan bahkan wanita yang memakainya secara sukarela harus dilarang melakukannya. Lebih lanjut, bila kita tetap acuh dan membiarkan mereka berpandangan bahwa hak- hak perempuan adalah yang tertinggi dan selalu lebih penting daripada kebebasan beragama? Itu justru akan menimbulkan masalah diskriminasi baru.

Misalnya, terhadap para perempuan yang secara sukarela menganut agama dan mempraktikkannya. Hal itu bisa dilihat dari kebijakan rasis yang dianut oleh pemerintah Prancis saat ini. Sehingga penting bagi kita semua untuk terus menyuarakan bahwa sejatinya nilai-nilai toleransi beragam berkelindan dengan hak-hak perempuan. Sebab, tujuan agama ada tentu bukan hanya membawa kebaikan kepada sekelompok orang saja, tapi bagi umat manusia secara keseluruhan. Sehingga, merawat toleransi beragama dan melindungi hak-hak perempuan harus dikerjakan bersama-sama

TERBARU

Konten Terkait