Bagaimana Olahraga Bisa Membantu Prevensi Radikalisme?

Sudah jamak kita ketahui bahwa olahraga memiliki banyak manfaat, tak hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga mental. Melalui olahraga juga, kita dapat meningkatkan kesadaran diri dan memupuk semangat berjuang, bahkan jika bermain dalam tim, hal ini terbukti bahwa olahraga berperan langsung dalam memupuk tanggungjawab kelompok serta kerjasama. Di sisi lain, olahraga dapat berfungsi sebagai alat untuk memproses emosi, pengalaman, dan berperan dalam pembentukan identitas, jika dikenalkan sejak dini.

Terutama pada masa kanak-kanak dan pubertas, olahraga memiliki peran penting dalam pengembangan kepribadian dan kompetensi. Olahraga yang dimaksud pun berasal dari semua cabang, bisa berupa permainan bola, atletik, seni bela diri atau menunggang kuda. Seluruhnya dapat meningkatkan keterampilan sosial dan kognitif. Merujuk pada riset komisi Uni Eropa (2021), ketika seseorang terpilih menjadi bagian dari tim, tidak hanya sebagai pemain, tetapi juga mendukung tim sebagai bagian dari klub penggemar atau di luar komunitas fans, hal tersebut ternyata dapat membangkitkan rasa kebersamaan, dan dukungan.

Bagaimana Olahraga Bisa Membantu Prevensi Radikalisme?

Dalam kondisi tertentu, sesame anggota tim acap kali memiliki hubungan erat, karena mereka mampu menawarkan ruang aman di luar keluarga. Terlebih, ketika hubungan yang dijalin tidak sebatas pada lapangan laga. Saat mereka dapat berbagi emosi dan pengalaman, bisa dikatakan bermain olahraga sejatinya adalah kembali ke rumah. Dari sisi psikologis, olahraga bisa mendorong pendewasaan kepribadian seperti disiplin, kontrol emosi, kepercayaan diri dan kepemimpinan, semangat tim dan kemampuan untuk bekerja di dalam dan menavigasi lingkungan yang heterogen dengan cara yang positif. Terlebih jika individunya tergabung dalam klub olahraga dengan fasilitas memadai. Secara taktis, situasi tersebut akan teramat membantu pembentukan fisik dan mental untuk semakin kuat. Sayangnya, semua teori ideal tadi tak selamanya teraplikasikan di lapangan. Dalam dunia olahraga, beberapa oknum justru menodai sportivitasnya dengan perspektif skeptis yang menampilkan implikasi dari narasi sosiokultural.

Pertama, performa sebagai kategori sukses dalam olahraga justru menghasilkan pemujaan tubuh. Di mana peningkatan performa bermain adalah satu-satunya fokus yang perlu diwujudkan. Tak heran, banyak atlet atau penyuka olahraga menghalalkan berbagai cara untuk meningkatkan performa secara instan. Hal ini dapat meningkatkan risiko kebiasaan tidak sehat seperti konsumsi obat-obatan illegal/zat tertentu.

Kedua, dinamika kompetisi olahraga di satu sisi dapat menciptakan “kultus kemenangan”, di mana menang dan mengalahkan lawan adalah pertimbangan utama. Konsekuensinya mengarah pada ambisi juara yang berlebihan, hingga mudahnya terbentuk sikap bermusuhan terhadap lawan.

Ketiga, kultus kekerasan. Di mana dinamika olahraga kompetitifvmengarah pada kekerasan verbal dan fisik, baik antar pesaing maupun dalam konteks sosial pertandingan. Ketiga faktor tadi terekam nyata saat perampasan ideologis olahraga mencapai puncaknya di era Nazi Jerman, di mana latihan fisik dijadikan sasaran militerisasi rezim otoriter. Contoh nyata dari fenomena ini adalah Wehrsportgruppe Hoffmann (secara harfiah diterjemahkan sebagai pertahanan), sebuah organisasi paramiliter yang bertujuan untuk membangun kembali kediktatoran Nazi.

Para anggotanya diwajibkan untuk berlatih menembak, bela diri, serta binaraga. Untuk latihan khususnya, beberapa dari mereka diminta untuk menghadiri kamp paramiliter di Lebanon agar selalu siap tempur. Dari sini, sejatinya olahraga dapat diibaratkan seperti pisau: tergantung siapa yang memakai dan untuk apa dipakai. Belajar dari pemanfaatan olahraga untuk memenuhi ambisi radikalisme dan ekstremisme.

Sudah saatnya kita membantu membalikkan keadaan dengan menguatkan latihan-latihan olahraga tidak hanya dengan kurikulum fisik. Namun, nilai-nilai wawasan kebangsaan serta toleransi. Terlebih, jika cabang olahraganya bersifat kerjasama tim dengan anggota yang berasal dari beragam latar belakang. Penanaman nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika, justru perlu terus menerus dipupuk agar olahraga yang dimainkan tidak hanya mempromosikan kesehatan fisik.

Begitu juga juga turut mengenalkan bagaimana menerapkan tenggang rasa antara satu dengan yang lain. Sejalan dengan hasil riset dari Uni Eropa, Ketua Umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) Provinsi DKI Jakarta, Calvin Legawa, menambahkan, olahraga merupakan salah satu langkah preventif dalam mencegah masuknya paham-paham radikal intoleran.

Diharapkan, dengan penguatan nilai-nilai dalam pelaksanaan latihan dan ketika uji tanding diadakan, tiap individu mulai tergugah untuk melihat bahwa dalam olahraga, tiap orang berhak untuk menampilkan yang terbaik, dan hasil yang diperoleh seharusnya menjadi bahan evaluasi diri, bukan untuk dipolitisir atau bahkan dijadikan bahan olok-olok hingga diskriminasi.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top