35.2 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Paradoks “Menuju Keluarga Sakinah” dalam Bingkai Narasi Ekstremis (1)

Tak hanya hijab, kaos kaki, odol, dan baju syar’i, bahkan sebuah relasi yang jelas harampun saat ini juga sudah berbasis syar’i. Hal ini tak lepas dari pengaruh public figure millennial yang merepresentasikan pernikahan yang penuh ke”UWU”an. Bebas berpegangan tangan, bisa tidur bareng, peluk-pelukan setiap saat, masak bareng, dan makan bareng.Ditambah lagi dengan narasi pacaran no, menikah yes!. Sehingga pasangan muda mudi yang terpengaruh dengan narasi tersebut, dan tak mau terjerumus ke lubang perzinahan, kemudian mengubah relasi pacaran menjadi ta’arufan.

Saya teringat dengan curhatan seorang mahasiswi sebelum pandemic covid-19 yang mengaku terganggu dengan perubahan sifat temannya. Dimana seorang gadis periang, aktif, pintar, dan organisatoris yang handal tiba-tiba mengalami perubahan yang drastis. Hal ini disebabkan karena ia menjalin relasi yang “katanya” taaruf dengan aktifis yang sekaligus seniornya. Semenjak itu, kemanapun aktifitasnya, ia harus meminta izin pada pasangannya. Jika tidak diizinkan, ia tidak boleh berangkat. Bahkan sempat menangis hanya karena tidak mendapat izin untuk melakukan diskusi kelas dari pasangannya tersebut.

Ketika mahasiswi tadi menyarankan untuk tidak menaati larangan pasangannya, ia mengaku tidak berani karena mereka sudah berada dalam fase taarufan. Sehingga apapun aktifitasnya, harus sepengetahuan pasangannya.Secara istilah pacaran dan ta’rufan sudah tentu memiliki makna yang berbeda, namun secara praktik tidak jauh panggang dari api. Sering boncengan berdua, berduaan ditempat sepi, pergi kemana-mana berdua, menjauhi teman lainnya seolah dunia milik berdua, dan terisolasi dari dunia luar. Eksistensi dan makna dari taaruf disalahgunakan agar bisa melakukan pacaran syar’i.

Narasi Ekstrimis dan Langgengnya Mental Patriarki dalam Hubungan yang Toxic

Karena berbasis syari’i, maka dominasi peran laki-laki atas perempuan seperti dalam kasus diatas, seringkali dilakukan dengan pendekatan ayat-ayat ekstrimis. Seperti mewajibkan perempuan izin terlebih dahulu sebelum bepergian, menguasai tubuh perempuan dengan mengatur jenis pakaiannya, larangan bertemu laki-laki lain, wajib melaporkan seluruh aktifitasnya, dan membatasi kontak laki-laki di telefon genggamnya. Seolah-olah dominasi laki-laki atas perempuan dalam relasi tersebut adalah sebuah gambaran rumah tangga islami yang ideal di masa depannya.

Menurut Henri Yulius (2018), pasangan dalam tahap pacaran selalu memiliki satu tujuan yaitu hidup ideal. Dalam sebuah relasi yang timpang selalu memberikan dominan bagi salah satu pihak, dalam hal ini laki-laki. Sehingga orientasi juga membentuk suatu imajinasi yang ideal. Ketika perempuan belum memenuhi imajinasi laki-laki maka pembentukan orientasi pun dilakukan. Sedangkan standar imajinasi ideal yang dibentuk dalam pacaran berbasis syariah ini tak lain adalah penafsiran dari narasi-narasi ekstrimis yang seksis.

Narasi ekstremis seringkali dijadikan senjata untuk mengekang kebebasan perempuan. Naasnya dalam sebuah relasi laki-laki dan perempuan, narasi ekstrimis ini seringkali digunakan untuk mempertegas bahwa dominasi yang dilakukan laki-laki adalah sesuatu yang sesuai dengan syariat Islam. Negosiasi dari pihak perempuan sebagai korban narasi ekstrimis laki-laki tak banyak dilakukan dimasa pacaran. Hal ini disebabkan karena penerimaan perempuan yang menganggap segala ketertindasan dan kekerasan psikis yang ia alami adalah sesuatu yang wajar.

Menurut teori sitasionalitas Judith Butler (2011), negosiasi dalam keadaan ini tidak terjadi karena pengekangan dan kekerasan psikis terjadi berulang kali sehingga secara perlahan menjadi sesuatu yang baku. Pengekangan dianggap sebagai sebuah norma karena dalam imaji mereka, relasi perempuan dan laki-laki dalam pernikahan saling mendominasi dan mengatur sama lain. Muncul simulasi peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang memiliki hak mutlak, dan simulasi peran perempuan sebagai istri yang taat dan patuh pada kepala rumah tangga. Ketika dibawa pada konteks pacaran maka idealisme pernikahan itu akan muncul secara ‘alamiah’ bahkan jika segala kekerasan dialami.

Paradigm patriarki jelas tergambar dalam relasi ini, sebuah paradigm yang menempatkan laki-laki sebagai objek dan perempuan sebagai subjek. Dari paradigm ini kemudian lahirlah relasi yang toxic. Yaitu sebuah hubungan yang tidak sehat, namun pelaku yang didalamnya baik sebagai actor maupun korban tidak menyadari bahwa mereka dalam hubungan tidak sehat. Diperkuat dengan narasi ekstrimis yang mengkonstruk pemikiran bahwa keterkekangan yang terjadi pada perempuan adalah sesuatu yang akan bermanfaat bagi perempuan kedepannya.

Sehingga terdoktrin dalam jiwa bahwa perempuan memang hidup di bawah aturan laki-laki, harus menurut, tidak punya kebebasan, harus selalu izin ke pasangan meskipun masih dalam tahap pacaran. Setidaknya itulah doktrin laki-laki akan simulasi keluarga sakinah yang mereka bangun kedepannya.
Hal ini menggambarkan teori yang dipaparkan oleh Fishben dan Ajzen (1988) mengenai belief about outcomes yang dapat berpengaruh pada attitude toward behavior seseorang. Dalam arti pihak perempuan meyakini bahwa dengan menurut laki-laki maka hal itu akan membawa hubungan yang harmonis diantara keduanya sehingga ia akan menerima perilaku tersebut dan tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam keadaan bermasalah.

TERBARU

Konten Terkait