Pada fase reintegrasi, beberapa hal keperluan anak-anak perlu dipenuhi oleh negara. Salah satunya, pembuatan identitas. Dalam beberapa kasus, pembuatan identitas seringkali sulit dipenuhi. Hal tersebut diungkap oleh Komisioner KPAI, Rita Pranawati.
”Hal kedua adalah pemda harus membantu dengan tokoh agama atau masyarakat untuk meyakinkan jika ‘mereka juga berhak untuk hidup, memperbaiki hidup untuk masa depannya,” tegasnya dalam WGWC Talk 22, belum lama ini.
Pemerintah Daerah agar agar para eks napiter bisa penerimaan kembali kepada lingkungan tempat tinggal. Minimal di kecamatannya agar bisa menjalani hidup lebih wajar dan jauh lebih baik. Para eks napiter ini sudah menjalani masa tahanan. Para eks napiter membutuhkan proses dan keluarganya .
Jadi, tekannya, kata kunci keterimaan dalam sosial menjadi kata kunci penting. Sebab, hal tersebut dapat membangun residensi adalah penerimaan dari keluarga. Keluarga dapat menguatkan para eks napiter. Kemudian, keterterimaan di lingkungannya itu bagian dari membangun residensi.
”Termasuk lingkungan yang lebih besar ketika dia bekerja dan seterusnya. Bahwa eks napiter itu tidak bisa dihapus, tapi berhak mendapatkan kehidupan kembali di masyarakat,” terangnya.
Di tempat yang sama, Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie mengatakan, sempat bertemu dengan anak muda dari Aceh yang akan berangkat ke Suriyah. Namun, berhasil dicegah. Keberhasilan tersebut didokumentasikan dalam sebuah film yang dibuat oleh Ruangobrol.id . Dari film tersebut menunjukan bahwa komunikasi dengan orangtua menjadi hal yang paling penting.
”Contoh lainnya di Medan. Seorang anak muda, itu menjalin komunikasi dan menjalin relatinship yang bagus dengan ibunya sehingga mengalami perubahan pemikiran,” terangnya.
Dirinya membayangkan jika sebenarnya bahwa program-program disengegment ke depan itu melakukan assesment dan melakukan pendampingan yang intensip bukan hanya ke subyek tetapi juga support system yang paling dekat. Tapi, figur-figur lainnya perlu dioptimalkam agar menjadi kontrol grup. Tugasnya, lanjut dia, mendampingi, melakukan monetering, memberikan asupan kasih sayang, memberikan kebutuhan-kebutuhan komunikasi dan dukungan moral terutama .
Elemen keluarga, ungkapnya, menjadi faktor yang paling kuat untuk mencegah penyebaran ekstremisme. Di saat yang bersamaan, keluarga menjadi penyebaran ekstremisme. Salah satunya, pelaku bom bunuh diri di Lamongan atau Bali. Jadi, tekannya, dukungan-dukungan di lingkungan sekitar itu memang harus dimaterialkan dapat dukungan yang konkrit dari support system. Agar menjadi menteng memerangi ekstremisme kekerasan.
”Nah, menurut saya ini tantangan yang sangat sulit karena kita menghadapi kelompok yang juga kuat punya daya tahan yang bagus dan menyasar usia dini. Bukan hanya belajar tetapi usia jauh dari itu,” pungkasnya.