Ketika berbicara masalah ekstremisme kekerasan, perempuan dan anak menjadi elemen yang sulit dihilangkan. Sebab, perempuan dan anak adalah kelompok yang sangat terdampak. Hal tersebut ditegaskan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Valentina Ginting.
”Ada 3 hal yang bisa kita lihat. Pertama, perempuan itu sebagai korban. Seperti kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan di Makassar. Kelompok yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan,” teragnya, belum lama ini,

Artinya, diungkap olehnya, masyarakat sipil yang ketika mereka hadir di lokasi kejadian mereka menjadi korban. Kedua, dilihat ketika suami melakukan aksi terror. Akan tetapi, perempuan dan anak dari pelaku tidak terlibat. Perempuan sebagai istri memiliki resiko yang cukup tinggi untuk kehilangan suami. Kemudian, jika suami menjadi mencari nafkah dalam kehidupan mereka, besar kemungkinan perempuan (istri) mendapatkan depresi. Perempuan akan sangat resisten terhadap hal yang dilakukan oleh suaminya.
Ketiga, perempuan itu sendiri sebagai eksekutor atau yang terlibat langsung di dalam proses daripada ekstrimisme atau terorisme tersebut. Dari tiga hal tersebut, tegasnya, perempuan dan anak ini harus menjadi mainstrea ke dalam rencana Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) . Di Indonesia, PUG telah menjadi mandat juga dari Instruksi Presiden No 9 tahun 2000. Dari hal tersebut, PUG harus masuk dalam pelaksanaan program kegiatan dalam Kementeria atau Lembaga, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
”Dari hal tersebut, kita perlu menegaskan jika PUG perlu masuk dalam RAN PE yang akan dilaksanakan,” tegasnya.