Dalam beberapa kasus, keluarga menjadi mengantar pengantar dan pembanding dalam konteks ideologisasi. Begitu juga keluarga sebagai aktor dalam CVE sebagai agen perubahan terhadap anaknya. Hal tersebut diungkap oleh SC WGWC, Taufik Andrie.
”Contoh yang paling kelihatan dan berhasil di cover dengan baik oleh YPP adalah Akbar. Akbar merupakan anak muda dari Aceh yang menjadi pelajar di Turki,” terang pria yang sekaligus Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, belum lama ini.
Pada saat itu, Akbar akan menyebrang ke Suriyah. Cerita tentang Akbar ini telah dibuat film yang diproduksi oleh Ruang Obrol. Dari Akbar, menurutnya, menunjukan bahwa komunikasi yang baik dengan dapat mengubah pemikirannya yang akan ikut berperang. Dirinya membayangkan jika program-program disengegment ke depan perlu melakukan assesment dan melakukan pendampingan yang intensip bukan hanya ke subyek. Melainkan, kepada support system yang paling dekat.
Figure-figur keluarga yang sudah bekerja dengan optimalkan dengan cara menjadikan mereka sebuah kontrol grup. Tugasnya, lanjutnya melakukan mendampingi, monitoring, memberikan asupan kasih sayang, memberikan kebutuhan-kebutuhan komunikasi dan dukungan moral. Terutama dan amaterial yang bisa berasal dari manapun negara atau aktor negara. Akan tapi, diserahkan mekanismenya ditangan mereka sebagai aktor-aktor paling dekat.
”Saya kira asas family solution alah menguatkan orang tua terlebih dahulu agar subyek dimaksud (anak yang terlibat dnegan terorisme) ini bisa kita kelola secara lebih manusiawi, lebih dekat ecara psikologi dengan subjek-subjek terkait di keluarganya,” terangnya.
Dirinya mencontohkan kembali putra dari Alm. Amroji di Lamongan pelaku bom Bali satu itu juga dikelola sangat baik oleh pamannya Ali Fauzi. Jadi, dukungan-dukungan di lingkungan sekitar itu emmang harus dimaterialkan dapat dukungan yang konkrit dari support system dari manapun. Hal ini dilakukan agar mereka bisa mendapatkan self system yang memadai.
”Kita juga perlu mengingat jika kelompok ekstremisme kekerasan melakukan support system yang sama tidak kalah menarik. Mereka melakukan propaganda dan pembentukan kebutuhan yang menarik atau jaminan janji yang lebih menarik,” tegasnya.
Menurutnya, hal ini menjadi tantangan yang sangat sulit untuk menghadapi kelompok yang sudah kuat dan memiliki daya tahan yang bagus dan menyasar usia dini. Dalam banyak kasus, terangnya, kelompok ekstremisme memberikan beasiswa pada anak-anak dan negara tidak memberikan. Hal ini menjadi jalan agar kelompok muda memiliki kelompok radikalisme hingga ekstremisme. Artinya, kelompok tersebut siap memproduksi generasi baru.