Bagaimana Generasi Milenial Terpapar Ekstremisme?

Memasuki tahun 2022, Indonesia masih menghadapi berbagai ancaman terorisme dengan berbagais kala dari rendah hingga tinggi. Menurut laporan pihak Kepolisian RI, jumlah penangkapan pelaku terror, bahkan meningkat sebanyak 138 orang atau setara 42,7 persen jika dibandingkan dengan jumlah tersangka terorisme yang ditangkap pada tahun 2020. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terorisme masih menjadi bahaya letal yang menghantui negeri ini. Terorisme sendiri dapat berawal dari sifat atau pandangan yang radikal terhadap suatu hal.

Tak menutup kemungkinan karena berbeda dari segi ideologi, adat-istiadat maupun agama mampu memicu teror-teror yang meresahkan hingga tindakan brutal kepada pihak lain. Masih terkait radikalisme, menurut survey dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris atau BNPT di tahun 2020 menunjukan bahwa kaum milenial adalah kaum yang paling rentan terpapar paham radikalisme yang menyesatkan ini.

Bagaimana Generasi Milenial Terpapar Ekstremisme?

Alasannya karena para milenial zaman sekarang tidak terbiasa untuk berpikir kritis saat menerima suatu informasi atau ajaran. Hal itu yang menjadikan mereka sebagai sasaran empuk bagi para terorisme pendahulu untuk menurunkan pemahamannya. Bahkan menurut Komisaris Jenderal Polisi(Komjenpol) Boy Rafli Ammar para milenial adalah kalangan paling efektif untuk melakukan hal-hal seperti ini karena paling mudah untuk di doktrin. Berbeda dengan orang tua atau lanjut usia yang rata-rata telah berpikir untuk tidak mau ikut-ikutan lagi.

Kaum milenial sangat berpotensi untuk menelan mentah-mentah doktrin yang menyesatkan dan melakukan apa yang ditanamkan dari para mentor mereka. Begitupun dengan anak-anak, jikalau pun mereka menerima juga doktrin tersebut, mereka hanya sebatas menerima tanpa bisa melakukan apa-apa yang menyebabkan keretakan di dunia yang seharusnya damai ini. Informasi dari sumber yang sama juga menyebutkan bahwa contoh dari kasus terorisme yang salah satu pelakunya datang dari generasi milenial adalah bom yang terjadi di gereja Katedral Makassar pada tahun 2021.

Pandangan berbeda berasal dari pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel dalam wawancara bersama salah satustasiun TV Nasional, mengindikasikan bahwa kecerdasan anak milenial justru luar biasa. Karena kecerdasan yang luar biasa itulah yang menyebabkan mereka berpotensi menjadi pembelajar mandiri atau bisa disebut juga dengan Self-learner. Potensi inilah yang menjadi kunci mengapa regenerasi teror belakangan ini harus kita waspadai. Berbeda dengan sistem dimasa lalu dimana para pelaku teror harus dicuci otaknya terlebih dahulu dan didampingi secara intensif.

Pada zaman sekarang mereka cukupbelajar sendiri dengan memasukan nilai-nilai radikal dengan kekerasan tanpa bantuan siapapun lalu bersumpah dengan keyakinan dan melakukan hal yang menurut mereka benar, hal ini bisa disebut juga dengan self-radicalizationdan self-recruitment. Motivasi para milenial untuk melakukan hal tersebut menurut Reza sangat dipengaruhi oleh sosial media, dimana setiap milenial bisa secara bebas mencari dan memilah apa saja yang mereka sukai ataupun gemari.

Dengan kata lain sosial media adalah surga tersendiri bagi mereka untuk mencari dan menggemari sesuatu. Yang ditakuti dari hal ini adalah ketika mereka semakin mengacu dan candu pada referensi-referensi yang jahat, maka semakin sulit bagi mereka untuk keluar. Masih menurut pandangan Reza Indragiri, dari sisi psikologis, di dalam diri seorang milenial mempunyai sebuah kekhasan alamisendiri yaitu kesenangan/kecenderungan untuk menyerempet bahaya.

Informasi tentang kedashyatan, keperkasaan, kebangkitan adrenalin dan gairah merupakan contoh dari apa yang mereka cari. Hal ini yang menyebabkan mereka merasa tertantang untuk melakukan hal-hal yang di luar logika orang biasa. Oleh sebab itu, persoalan selanjutnya adalah bagaimana menekankan pentingnya pendampingan orang dewasa, baik orangtua hingga guru di sekolah untuk memberikan pemahaman yang benar serta mengarahkan mereka untuk melakukan hal lain yang dapat memuaskan psikologis para generasi muda.

Langkah berikutnya yakni, semua pihak harus mampu membangun optimisme dan rasa percaya diri bahwa kita semua dapat menang dalam pertarungan menghadapi kelompok teror yang sejak dulu selalu ada ini. Selain itu, negara sebagai wadah penampung atau rumah bagi masyarakatnya juga harus mampu melakukan pendekatan yang ekstra, pendekatan individual maupun pendekatan yang sangat privat tapi tetap dilakukan secara masif kepada generasi mudanya agar mereka para anak muda yang berjiwa petualang dapat meneruskan rasa penasarannya kearah yang benar, minimal tidak menjadi oknum yang merugikan banyak pihak.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top