Keluarga Menjadi Elemen Penting dalam Pencegahan Ekstremisme

Dalam proses reintegrasi anak, sangat diperlukan peran keluarga. Saat ini, dalam proses radikalisasi, keluarga memiliki peranan penting. Salah satunya, keluarga memiliki peran sebagai pengantar dan pendamping dalam mentranferkan paham-paham ekstremisme kekerasan. Menurut Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie, dalam transfer reintegrasi kepada masyarakat terdapat tantangan terbesar, yaitu dari keluarga.

”Selaku keluarga terdekat, biasanya ayah menjadi aktor paling kuat itu di keluarga yang sering terjaring dalam aksi ekstremisme kekerasan,” ungkapnya dalam WGWC Talk seri 22, belum lama ini.

Keluarga Menjadi Elemen Penting dalam Pencegahan Ekstremisme

Diungkapnya, terdapat aspek-aspek pengutaan atas faktor yang muncul dalam konteks radikalisasi. Hal yang paling mudah mudah dipahami adalah keluarga adalah elemen penting. Sehingga, relationship menjadi hal yang paling utama juga. Semakin jauh relationship antar keluarga, maka ada ruang terbuka untuk masuk dalam proses radikalisasi.

Dan semakin dekat relationshipnya dengan antar keluarga, maka ada ruang disengegment. Dari beberapa cerita keluarga yang terkena ekstremisme kekerasan, terdapat gap komunnikasi yang mungkin dialami oleh orang yang lain atau keluarga yang lain. Relationship menjadi kunci karena justru biasanya core family yang biasanya jadi ruang nyaman bagi seseorang untuk menentukan pilihan. Terutama anak muda karena rolemodel paling deket biasanya ayah atau ibunya ataun paman atau kakak atau lainnya.

Dalam penyebaran ekstremism kekerasan, kekerabatan terdekat ini (keluarga) sering digunakan oleh para teroris atau para terduga teroris, Kemudian, lembaga pendidikan tetapi spesifik pada guru, lembaga pendidikannya, kurikulumnya tetapi gurunya harus mengetahui subjek yang mengajarnya. Hal ini tentunya akan merujuk pada upaya melakukan recruitment radikalisasi.

”Dalam media sosial ada yang bersifat grup, tetapi ada juga yang bersifat individual. Ada perasaan sedih dan amarah yang mendalam dan ada semacam maskuliniti listerning,” terangnya.

Ada seseorang ingin dibalik dukungan atas amarah, kekecewaan dan kesedihan. Dalam itu, biasanya disertai dengan keinginan untuk melakukan aksi-aksi balas dendam lewat ketelibatan dalam kelompok tertentu. Agar bisa melampiaskan atau mewujudkan dari kemarahan yang dia punya. Sebenarnya, kata ideoligisasi dimiliki oleh anak-anak muda yang menyukai berantem, menyukai tawuran, menyukai main games dan seterusnya. Jadi, menurutnya, maskuliniti menjadi salah satu faktor yang justru lebih menarik identitas anak muda atau remaja.

”Sehingga ketika mengelola suatu isu, baik dalam keluarga maupun dalam lingkup lingkungan sosial perlu dilihat mindsetnya atas kejadian tersebut. Saya kira banyak hal yang sifatnya ideologis direkrut oleh kelompok dalam hal ini bisa JAD direktrut oleh keluarga sendiri,” terangnya.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pemahaman radikalisme hingga ekstremisme kekerasan berasal dari apa yang dibaca oleh pelaku. Begitu juga dengan apa yang mereka lihat dari luar dan apa yang mereka anggap sebagai bagian dari kesedihan dan amarah yang mendalam. Hal Ini biasanya muncul di televisi atau youtube. Sehingga, dibutuhkan, migitas yang lebih kompleks tetapi dengan keyword relationship.

Elemen keluarga lainnya, seperti ibu atau saudara dekat bisa peran yang signifikan untuk melakukan pembacaan atas perubahan-perubaahn perilaku ditingkat awal. ”Saya kita keyword ketiga adalah pentingnya family resolution. Perlu melakukan komunikasi yang intensip untuk konteks membangun family resolition karena itu kunci sebelum melawan radikalisme,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top