Proses Reintegrasi Anak Perlu Membutuhkan Kerjasama Pemda dan Masyarakat

Sejak 2018 hingga saat ini, Balai Handayani telah melakukan pembinaan dan pengasuhan 4 orang yang terlibat dalam aksi bom bunuh diri. Menyoroti hal tersebut, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati mengatakan, dalam fase psikologi, remaja dianggap masih memiliki pemikiran dan prilaku yang berubah-berubah. Sebab, pada fase remaja sedang mencari identitas.

”Ketika anak terlibat dalam aksi terorisme, biasanya anak membutuhkan rasa aman, rasa nyaman dan rasa dihargai. Dia mencari kasih sayang yang dia harapkan. Hal yang menjadi masalah ketika anak mendapat hal tersebut pada lingkungan ekstremisme kekerasan,” terangnya dalam WGWC Talk 22.

Proses Reintegrasi Anak Perlu Membutuhkan Kerjasama Pemda dan Masyarakat

Untuk anak yang terpapar ekstremisme kekerasan, hal yang paling utama dibutuhkan anak adalah lembaga bantuan. Mulai dari lembaga bantuan psikolog, sosial dan lainnya. Semua lembaga perlu membangun kepercayaan dengan anak. Walaupun hal tersebut tidak mudah. Penanganan hal ini, dibutuhkan waktu yang cepet langsung. Sehingga, diperlukan kerjasama antar lembaga.

Seringkali, lanjut dia, proses kembalinya anak pada masyarakat cukup sulit. Hal ini dikarenakan masyarakat sering menolak proses ini. Sehingga, terdapat elemen lain yang perlu diperhatikan. Proses dialog dengan masyarakat perlu dilakukan. Hal yang perlu dikhawatirkan, saat anak sudah selesai pada proses rehabilitasi, tapi masyarakat enggan menerima. Hal ini membuat anak sulit mencari jalan untuk pulang.

”Dari sejumlah hal yang sudah dilakukan, ternyata masih membutuhkan interpensi dari institusi-institusi lain dan itu yang kemudian untuk dipikirkan bersama baik itu densus atay interpensi psikolog termasuk sering bersama dengan keluarga,” terangnya.

Diakui olehnya, sejumlah orangtua yang anaknya terlibat dalam kasus ekstremisme kekerasan, sudah melakukan banyak hal. Stigma masyarakat adalah hal yang sulit dilakukan. Sehingga, dibutuhkan kerja-kerja komunitas, ormas untuk menjaga dan disini peran pemerintah daerah. Hal itu menjadi penting.

Dari Catatan KPAI peran pemda masih kurang berperan dalam kasus seperti ini. Sehingga, ditegaskan olehnya, dibutuhkan kerjasama banyak pihak. Sehingga, sukses atau tidaknya pengembalian anak kepada masyarakat, tergantung kerjasama lembaga yang terlibat dalam proses reintegrasi.

”Saya pernah lihat di Lamongan itu agak mendingan, sepetinya dia pemda cukup banyak terlibat, ormasnya juga cukup terlibat unruk membatu agar kehidupan ekonominya bisa berjalan,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top