26.1 C
Jakarta
Rabu, 16 Oktober 2024

Film Ghosts of Sugar Land: Isu Radikalisme dan Pencarian Jati Diri Muslim di Amerika

Daerah Sugar Land, pinggiran Houston Texas mungkin kurang familiar di telinga kita. Namun, dari salah satu wilayah di Amerika Serikat ini lah menyeruak kisah bagaimana seorang laki-laki bernama “Mark” (bukan nama panggilan sebenarnya), remaja kulit hitam yang memutuskan untuk berangkat ke Suriah, dan bergabung dengan ISIS.

Meski fokus pada sosok Mark, film dokumenter pendek dengan judul “Ghosts of Sugar Land” yang berdurasi 21 menit ini justru mengambil sudut pandang dari orang-orang di sekeliling Mark. Sudut pandang tersebut hingga sekarang masih memperdebatkan: apakah Mark memang ke Suriah karena tercuci otak radikalisme atau hanya sebagai informan FBI?

Melalui karya Bassam Tariq yang dirilis pada tanggal 26 Januari 2019 lalu, kita diajak mengikuti alur mundur bagaimana seorang Mark yang awalnya hanyalah remaja kulit hitam tanggung yang tumbuh di lingkungan imigran Muslim kemudian mendadak memutuskan untuk ke Timur Tengah. Semasa kecil, sebagai satu-satunya non-Muslim, kadang Mark merasa berbeda karena budaya para anak imigran masih terbawa meski mereka berada di Amerika.

Saat usia sekolah dasar hingga remaja tanggung, perbedaan itu mungkin tak terlalu terasa, hingga mereka mulai tumbuh dewasa: pergaulan dengan sesama jenis hingga isu minuman beralkohol menjadi hal yang sensitif untuk diperbincangkan karena ternyata mereka semua. Termasuk Mark memiliki pandangan berbeda terhadap semua hal tersebut.

Apalagi, semakin hari Mark semakin dekat dan nyaman dengan kultur para remaja keturunan imigran asal Asia Selatan itu. Bahkan, beberapa kali candaan untuk masuk Islam sempat dilontarkan padanya. Di saat yang sama, alih-alih tersinggung Mark justru merespon dengan ketertarikan luar biasa terhadap Islam. Sayangnya, berbagai pertanyaan dasarnya mengenai Islam tak pernah mendapatkan jawaban yang komprehensif dari teman-teman segengnya.

Hal itu mendorong Mark untuk mencari tahu sendiri melalui Google dan media sosial. Seiring berjalannya waktu, Mark yang telah yakin akan ajaran Islam mengutarakan ingin menjadi mualaf. Awalnya keinginan ini ditanggapi dengan bercanda oleh yang lain. Mereka pikir itu bukan suatu hal yang serius, dan lebih kepada keinginan Mark agar tak terlalu berbeda dengan mereka. Tapi, ketika Mark menyampaikan itu berulang kali, akhirnya mereka sadar, minat Mark menjadi muslim amatlah besar.

Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, hubungan Mark dengan teman-teman dekatnya justru merenggang. Selain disibukkan oleh urusan pekerjaan, di satu sisi Mark melihat bahwa perilaku teman-teman muslimnya justru kurang menginternalisasi nilai- nilai Islam. Ada yang mengonsumsi alkohol, ada juga yang kerap pergi ke tempat hiburan malam.

Oleh karenanya, ia amat kecewa atas perilaku kawan muslimnya tersebut. Belum lagi, ia diterima kerja di perusahaan mayoritas orang kulit putih yang justru memarjinalkannya. Ia bahkan sempat dikritik karena menumbuhkan jenggot. Hal itu diperkirakan membuat Mark semakin terkucil di lingkungan kerjanya. Sampai di satu titik, ia memposting melalui akun pribadinya bahwa ia sudah berada di perbatasan Turki untuk segera menuju Suriah.

Pengumuman tersebut sontak membuat kawan-kawannya terkejut. Mereka khawatir sekaligus cemas akan kondisinya, juga tak menyangka apa yang terjadi pada Mark hingga bisa ke sana. Beberapa dari mereka menduga bahwa Mark memang terpapar ujian kebencian dari ISIS karena belajar Islam dari sumber yang salah, namun beberapa yang lain melihat Mark bukan individu yang mudah tergelincir, ia justru orang yang cerdas.

Karena itu, Mark ke Suriah bukan karena ia menjadi ‘jihadis’, tapi ia sejatinya adalah intel FBI yang menyamar. Hipotesis itu muncul dari kawan yang juga tetangganya. Terhitung 2-3 kali ia melihat ada mobil FBI yang lalu lalang di sekitar komplek mereka. Sehingga ia berasumsi bahwa tak mungkin Mark yang ia kenal dekat adalah seorang ekstremis.

Terlepas dari berbagai sudut pandang kawan-kawan yang mengenal Mark, film pendek ini berhasil memotret bagaimana dinamika seorang pemuda yang sedang mencari jati diri di negeri yang kondisi politiknya kini amat dinamis dan sarat akan pergulatan terkait identitas. Tak kalah menarik, Tariq juga seakan mempertanyakan relevansi ‘the American dream’ yang sepertinya mulai meredup di era sekarang.

Amerika yang dulu dielu-elukan sebagai negeri yang menjanjikan kebebasan dan kesempatan penuh bagi semua orang ternyata menyimpan isu diskriminasi sosial yang belum terselesaikan. Gesekan-gesekan antar warga lokal dan pendatang pun sejatinya adalah fenomena gunung es yang diramu dengan elegan oleh Tariq melalui dialog dan pertanyaan- pertanyaan yang diutarakan kawan-kawan Mark.

Beragam adegan dalam “Ghosts of Sugar Land” lantas mengingatkan saya kepada nasihat Bapak Haedar Nashir selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah bahwa, “… radikalisme juga sering tumbuh berkaitan dengan pandangan serta situasi politik dan ekonomi tertentu yang memicu orang untuk bertindak radikal.”

TERBARU

Konten Terkait