Dalam penanganan anak dalam ekstremisme, diperlukan reintegrasi bagi anak-anak tersebut setelah dinyatakan bebas dari LPKA. Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, hingga saat ini belum ada aturan atau kebijakan untuk melakukan reintegrasi. Terutama, lembaga mana saja yang bisa melakukan pemdampingan berkelanjutan.
”Siapa lembaga yang menjadi pendamping? Lalu, siapa yang akan memastikan program paska reintegrasi di masyarakat itu bisa dilakukan. Ketika keluar dari LPKA, anak perlu memastikan siapa yang bisa ditemui. Begitu juga dengan teman-teman yang biasa dijumpai,” terangnya dalam agenda WGWC Talk.
Untuk kasus ekstremisme, perlu dilakukan regulasi tentang siapa saja orang-orang yang dianggap aman bagi anak. Jika dilepaskan begitu saja kepada masyarakat tanpa khawatir akan menjadi boom waktu. Ketika anak keluar dari LPKA, perlu dilakukan juga assessment berkala ketika anak-anak masuk dalam lembaga pendidikan.
Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan oleh KPAI, pada saat pendampingan kasus anak dalam ektremisme, pendampingan pada anak-anak akan dianggap selesai setelah menjalani rehabilitasi di kemensos saja. Akan tetapi, pada saat reintegrasi masyarakat menolak. Saat ini, masyarakat kita masih penuh dengan stigma, anak tersebut sehingga mereka harus dicarikan sekolah untuk dititip.
”Masyarakat ngga siap pada saat lebel itu sudah dijatuhkan pada seorang anak. Pada saat harus mencari, berartikan belum melembaga sistem ini. Perlu dicari dulu man kira-kira yang bisa mengurus ini anak paska orang tuanya meninggal pada saat melakukan bom bunuh diri,” terangnya.
Diakui olehnya, dirinya tidak bisa membayangkan kondisi anak tersebut. Sehingga, perlu didorong pemerintah daerah membuat sistemnya di sana sehingga pusat-daerah tersambung sistemnya. Disaat yang bersamaan, Menurut Direktur Pendampingan dan Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Khariroh Maknunah, terdapat dua segi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
”Pertama ketika dia bebas melalui hak integrasi dan juga bebas murni. Selanjutnya, saat dia bebas hak integrasi tentu yang paling ideal adalah BAPAS sebagai leading sektor untuk menyatukan atau mengintegrasikan dukungan-dukungan untuk proses pemulihan, pembimbingan dan pengawasan terhadap anak,” terangnya.
Hal yang bisa dilakukan oleh BAPAS adalah menjadi leading sektor dalam mengintegrasikan seluruh stakeholder yang ada untuk memberikan dukungan dalam proses reintegrasi tersebut. Untuk konteks anak, lanjutnya, dilakukan dukungan untuk kelompok kelompok yang bisa untuk anak mengembangkan bakat minatnya, hobinya, anak bebas diterima oleh kawan-kawannya. Karena di usia anak-anak perlu mendapatkan dukungan dan diterima oleh teman sebaya. Hal itu adalah hal yang sangat penting.
Anak-anak mereka membutuhkan pengakuan jika diterima oleh teman sebayanya. Jangan sampai, karena hal ini anak-anak kembali pada lingkungan sebelumnya. Jika anak-anak tidak diterima oleh komunitasnya, tentu saja hal itu menjadi koreksi. Misalnya anak dipercaya untuk tidak menyebarkan informasi bahwa ada strategi menggunakan jihad.
”Perlu ada ada beberapa pihak yang bisa dijadikan leading sektor itu bisa juga mengakomodir itu. Ketika dia bebas murni apa yang menurut saya paling ideal dan bisa dilakukan pemerintah daerah tinggal pemerintah daerah bagaimana itu memang bisa di leading sector, karena berbicara pemerintah daerah itu sangat luas misalnya apakah dinas sosialnya,” pungkasnya.