Dalam penanganan anak dalam ekstremisme kekerasan, hal yang harus diperhatikan adalah kondisi anak. Kondisi anak perlu mendapat perhatian khusus. Serta lembaga-lembaga yang menangani hal ini harus berlandaskan pada hak anak yang tertera dalam undang-undang perlindungan anak. Namun, perlu juga memikirkan hal lainnya secara jangka panjang.
Menurut Direktur Pendampingan dan Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Khariroh Maknunah, terdapat pekerjaan besar yaitu reintegrasi. ”Ketika anak-anak selesai menjalani pidana. Siapa yang harus mengambil alih fase pendampingan selanjutnya?” ungkapnya dalam agenda WGWC Talk seri 20, belum lama ini.
Berdasarkan pendampingan yang sempat dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian, terdaoat 19 anak yang didampingi pada 2020. Terdapat beberapa orang anak yang dinyatakan bebas murni. Artinya, tidak ada lagi bimbingan secara formal dari Negara atau pihak lainnya. Walaupun begitu, perlu ada pemdampingan anak untuk melakukan reintegrasi kepada lingkungannya.
Untuk kembalinya anak kepada lingkungannya, anak perlu mendapatkan dukungan emosial untuk menguatan agar bisa kembali kepada lingkungan. Serta, lingkungan perlu disiapkan agar anak tidak merasa dikucilkan di lingkungan tersebut setelah kembali dari LPKA. Diakui olehnya, suasana LPKA. Hal yang perlu diperhatikan oleh para pendamping adalah hak anak, walaupun anak tersebut terlibat dalam tindak pidana terorisme.
”Ketika anak terlibat dalam tindak pidana terorisme, memang anak melakukan aktifitas yang tidak sesuai dengan usianya. Lalu, memiliki pemikiran-pemikiran di luar batas usianya atau dia dipaksa melakukan dewasa dini,” terangnya.
Sehingga, perlu ada pendekatan-pendekatan yang dilakukan untuk mengembalikan identitasnya sebagai anak di usianya. Hal itu akan lebih mudah untuk membantu mengenali dirinya. Karena itu, juga yang biasa terlewat dari masa-masa pertumbuhan anak yang terlibat tindak pidana terorisme.
Di tempat yang sama, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Putu Elvina mengatakan, jika saat anak sudah terinfiltrasi atau bahkan sudah terlibat dalam sistem peradilan pidana anak walau kemudian restoratif justice diterapkan. ”Tetapi sebenarnya tidak benar-benar memberikan keadilan yang memulihkan. Jadi, intinya restorative justice itu kan bagaimana kita negara,” ungkapnya.
Pemerintah akan memastikan selama anak menjalani proses peradilan pidana prinsip restorative menjadi prinsip utama dan keadilan yang memulihkan. Pada saat anak selesai menjalani itu semua, pemulihan itu tidak mendapatkan seratus persen. Walaupun semua intervensi sudah dilakukan, walaupun anak ditempatkan di LPKA dengan pembinaan khusus untuk anak-anak tertentu tapi rasanya tetap berbeda.
Makanya, diungkapnya, memulihkan itu paling berapa persen, tapi sisanya itu butuh keuletan. Jadi kalau bicara bagaimana kemudian mengembalikan fase anak-anaknya, mengembalikan dunia anak-anaknya itu dunia yang sudah lewat. Tapi kemudian kita bisa mengurangi risiko setidaknya itu yang bisa kita lakukan.
”Apalagi banyak anak tersebut dari hasil assessment kita itu yang sukarela ikut. Memang motivasi internalnya tinggi mengikuti gerakan seperti itu. Nah itu lebih berat lagi mitigasi risikonya,” pungkasnya.