Dalam berbagai kejadian bom bunuh diri di Indonesia, terjadi peningkatan peran perempuan dalam aksi tersebut. Salah satu kasus yang selalu diangkat adalah Ika Puspitasari. Ika adalah perempuan pertama calon pengeboman bunuh diri. Kasus ini sangat menarik untuk diangkat. Ika bekerja sebagai buruh migrant di Hongkong. Kurang lebih 10 tahun Ika menjadi buruh migrant. Lalu, apa yang Ika rasakan?
Dari kasus Ika, kita bisa melihat Pergeseran trend terorisme yang menggunakan perempuan dan konteks kekalahan ISIS di Siria dan Irak. Sebelum melakukan bom bunuh diri, Ika merasa memiliki control penuh terhadap sumber keuangan hasil kerjanya.Termasuk keputusan penggunaan keuangan untuk kegiatan ekstremisme pasca membaiatkan diri pada ISIS. Ika melakukan baiat kepada ISIS melalui Telegram, nyaris tidak ada pihak lain yang intervensi.
Melalui sosial media, Ika mendapatkan informasi mengenai ISIS. Media sosial menjadi akses utama ke jaringanterorisme. Bahkan, sekaligus mendukung kontrol Ika untuk memastikan jaringan di Indonesia. Sosial media menjadi ruang kerja-kerja ekstremisme dengan untuk dirinya. Selain itu, Ika memaksimalkan dukungan keuangan penuh darinya untuk biaya pekerjaan “amaliyah” yang dijalankanoleh Abu Zaid dan Zaenal Akbar.
Meskipun tidak ideal, menempatkan perempuan dalam posisi lebih aman melakukan aksi “amaliyah” dibandingkan laki-laki. Kasus Ika, tampaknya Ika pun memiliki keterlibatan langsung dengan pimpinan ISIS, Bahrul Naim, she ingga secara mandiri Ika bisa merancang sendiri operasi “amaliyah” bahkan membentuk tim sendiri dan membiayai aksi-aksi ekstrimisme yang hendak dia lakukan.
Facebook menjadi kanal Ika untuk menyebarkan paham ekstremim yang dia anut. Ika sering berbagi materi tentang bagaimana membuat bom, dan tentang ajaran Bahrul Naim, teroris yang paling dicari. Ika bahkan tak segan melontarkan ancaman pada keluarganya yang tidak sepaham. Kakak Ika bernama Robi berusaha agar Ika keluar dari ajaran sesat, tapi Ika bersikeras menolak.
Akan tetapi, Kakanya juga akhirnya diblok dari facebook dan tidak bisa memberikan komentar. Sementara itu Ika semakin terseret dalam doktrin ekstremis. Sejak muncul instruksi untuk aksi teror yang di kalangan ini disebut amaliyah di Negara masing-masing. Ika menjelakan tentang baiat kepada ISIS. Serta kewajiban untuk membantu memberikan dana amaliyah dan juga melakukan amaliyah itu sendiri.
Ika juga memiliki kontrol penuh, dengan keyakinan agama ISISnya, menikah dengan Akbar melalui online. Keputusan ini diambil secara pragmatis menjadikan Akbar bagian dari aksi terornya. Dalam kontrol financing, Ika bisa dijerat dengan UU Pembiayaan terorisme, artinya Ika dipandang sebagai subjek aktif dalam menggagas aksi-aksi terror.