Peningkatan keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme karena dipengaruhi berbagai faktor. Dalam Laporan studi global PBB tentang pelaksanaan Resolusi 1325 memberikan perhatian khusus tentang perkembangan radikalisme dan ekstrimisme kekerasan di daerah sedang berkonflik dan pasca konflik.
Menurut Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, AMAN Indonesia sendiri melalui Konsultasi Digital Review dan Perpres No. 18 tahun 2014 juga merekomendasikan agar pemerintah membaca persoalan konflik sosial dengan kaca mata interseksionalitas. Seperti membaca konflik sosial secara beririsan dengan perkembangan radikalisasi dan ekstrimisme kekerasan, dan pengalaman bencana alam dan pandemi.
”Dalam hal merespon irisan antara konflik dan ekstrimisme kekerasan, Sekjend PBB, melalui dokumen Plan of Action (Rencana Aksi) menekankan pentingnya melakukan pencegahan konflik dan dialog, serta penguatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sebagai bagian dari pilar penting upaya dunia untuk melakukan pencegahan ekstrimisme kekerasan,” terangnya.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran dua regulasi penting yaitu PerPres No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Dalam PerPres No. 7 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan Mengarah pada Terorisme, sangat berpeluang besar untuk memaksimalkan agenda perlindungan perempuan dan anak dari konflik dan ekstrimisme kekerasan.
”Oleh karenanya, AMAN Indonesia mengusulkan sinkronisasi antara kedua aturan tersebut, dengan tujuan, agar mengefisienkan kerja-kerja pemerintah daerah agar bisa menjalankan mandat perlindungan perempuan dan anak dengan dua kerangka kebijakan yang berbeda, tetapi dijalankan dengan strategi sinkronisasi,” katanya.
Sinkronisasi RAN P3AKS dan RAN PE akan memberikan keuntungan kepada institusi negara pemberdayan perempuan dan perlindungan anak untuk memperkuat keterlibatan perempuan dalam pencegahan dan resolusi konflik. Selanjutnya, penanganan kekerasan berbasis gender pada wilayah konflik. Akan tetapi, di saat yang bersamaan juga bisa menjalankan upaya pencegahan radikalisasi secara menyeluruh di daerah potensi konflik sosial.
”Serta melakukan penguatan infrastruktur penanganan kasus kekerasan berbasis gender agar adaptif kepada kebutuhan rehabilitasi dan reintegrasi para perempuan dan anak ingin lepas dari radikalisasi,” pungkasnya.