Dalam penanganan ekstremisme kekerasan, ecara umum analisis gender masih belum menjadi prioritas. Bahkan, dalam kajian violent extremism (VE) atau terorisme. Pembahasan mengenai VE masih ditempatkan dalam kerangka subyek keamanan nasional yang bahasannya secara kaku berpusat pada hal-hal yang biasanya diasosiasikan dengan maskulinitas, seperti misalnya kekerasan, perang, negara, kekuasaan (power), militer, dan kalkulasi strategis.
Hal ini juga sudah ditegaskan dalam kritik yang diutarakan beberapa akademisi, bahwa isu-isu politik serta keamanan internasional masih didominasi oleh narasi yang cenderung maskulin dan berpusat pada laki-laki sebagai aktor utama dalam kepemimpinan. Begitu juga pada pembuat kebijakan, perlindungan, dan juga pelanggar hukum, sehingga isu yang menyangkut gender dan perempuan tidak menjadi prioritas dan cenderung terpinggirkan.
Dalam konteks tersebut, Menurut Streering Commite WGWC, Debbie Affianty mengungkapkan jika analisis gender menjadi penting untuk membedah pandangan kaku mengenai isu keamanan, termasuk juga mengenai VE. Analisis gender telah memberikan kontribusi substansial dalam membantu memahami perbedaan interpretasi terhadap keterlibatan perempuan dan laki- laki dalam VE.
Secara lebih sederhana, analisis gender berpusat pada penelaahan identitas gender sebagai konstruksi sosial mengenai maskulinitas dan femininitas, serta bagaimana konstruksi sosial tersebut mempengaruhi dinamika partisipasi seseorang, tidak terbatas hanya perempuan, dalam isu-isu keamanan, termasuk VE. Lebih dalam lagi, lanjut dia, kajian gender dalam isu keamanan juga melihat gender sebagai sebuah sistem simbolis yang membentuk struktur hirarki sosial.
”Hal tersebut berdasarkan anggapan atau asumsi mengenai karakteristik-karakteristik yang diasosiasikan dengan maskulinitas dan femininitas,” terangnya.
Berdasarkan simbolisme gender tersebut, pada umumnya hal-hal yang diasosiasikan dengan maskulinitas dianggap mempunyai nilai atau arti (value) yang lebih penting dibandingkan dengan hal-hal yang diasosiasikan dengan femininitas. Dengan memahami ketidaksetaraan tersebut, analisis gender dapat membantu mengungkap bagaimana hirarki hubungan kekuasaan atau kontrol antara laki-laki dan perempuan direproduksi.
Pemahaman ini tidak saja bermanfaat untuk mengungkap partisipasi perempuan dalam VE, tetapi juga untuk mengkaji dominasi nilai-nilai maskulinitas dalam struktur hubungan sosial. Termasuk keluarga, komunitas, hingga struktur negara, memberikan dampak yang berbeda bagi posisi perempuan dan laki-laki dalam VE dan usaha-usaha untuk menanggulangi VE.
Dalam analisis gender, terdapat 3 aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam aspek relasi pekerjaan (work) atau pembagian pekerjaan berbasis gender (gender division of labour), khususnya dalam pembagian peran dalam melakukan pekerjaan produktif (productive) dan reproduktif (reproductive).
”Kedua, dalam aspek alokasi sumber daya, khususnya dalam melihat perbedaan dalam akses atau kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya, dan control atau kuasa untuk mementukan bagaimana sumber daya akan digunakan dan didistribusikan,” ungkapnya.
Ketiga, ungkapnya, analisis gender juga melihat faktor-faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi relasi gender. Termasuk identifikasi siapa atau apa saja yang dapat mempengaruhi aktivitas atau penggunaan sumber daya untuk laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor ini juga termasuk significant others, lingkungan sosial, dan juga kebijakan.