Di masyarakat, Ulama memiliki peranan yang sangat penting. Dalam beberapa kali agenda WGWC talk, sempat diungkap jika Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) memiliki peranan yang sangat penting dalam pencegahan ekstremisme di masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan hasil KUPI 1 di mana ulama perempuan memiliki peran pentung dalam upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan.
Disisi lain, keterlibatan perempuan Indonesia dalam ekstremisme dalam 5 tahun ini terus meningkat. Hasil penelitian IPAC Mothers to Bombers menjelaskan bahwa, perempuan Indonesia kini tengah berjuang untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam gerakan ekstremisme. Dalam data BNPT, sampai Juni 2017, 78% dari 152 returnee Indonesia adalah perempuan dan anak. Kasus bom Surabaya pada 13 Mei 2018, bom Sibolga 2019 menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran gerakan ekstremisme dari “back yard to dining room”.
Menurut Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifahm peran laki-laki yang sebelumnya dominan dan berusaha menyembunyikan aktifitasnya dari keluarga, kini bergeser dengan melibatkan seluruh angguta keluarga. ”Peran aktif perempuan dalam ekstremisme yag semakin meningkat harus dilihat dengan lensa gender perspektif dimana mereka diletakkan dalam peran instrumental,” ungkapnya.
Saat peran laki-laki sudah dianggap tidak strategis, lanjutnya, maka perempuan harus didorong untuk mengambil peran. Ini yang kemudian diklaim sebagai pemberdayaan perempuan oleh gerakan ini. Melihat hal ini, ulama perempuan menjadi salah satu aktor penting dalam upaya pencegahan ekstremisme mengingat peran pentingnya dalam mendidik masyarakat, terutama dalam bidang keagamaan.
Dalam sebuah penelitian, ungkapnya, terdapat tiga faktor yang menyebabkan seseorang terpapar intoleransi dan radikalisme, yaitu faktor pandangan Islamis, faktor demografis, serta keterlibatan dengan ormas dan sumber pengetahuan ke-Islaman. Pandangan keagamaan yang sempit membuat banyak orang memilih meghapus dosa dengan bergabung dalam gerakan ini. Contoh kasus Ummu Vegas, Nurul Azmi Tibyani, serta Syahadah memilih untuk mendedikasikan dirinya serta kemampuan profesionalnya untuk mendukung secara aktif gerakan radikal.
Untuk itu, perlu mendorong keterlibatan ulama perempuan dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan keterampilan terkait upaya-upaya dalam pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan. AMAN Indonesia telah melakukan pelatihan untuk ulama perempuan tentang PVE serta penggunaan media sosial sebagai upaya kontra narasi maupun memproduksi narasi alternative untuk PVE.
”Sebelumnya AMAN Indonesia telah 2 kali menyelenggarakan pelatihan untuk Ulama Perempuan dalam upaya pencegahan ekstremisme. yang bekerjasama dengan Rahima,” terangnya.
Menurutnya, training pertama lebih banyak memberikan fondasi tentang pemahaman terkait sejarah radikalisme agama, pengetahuan dasar tentang radikalisme dan ekstremisme serta peran perempuan dalam pembangunan perdamaian. Sedangkan pelatihan yang kedua lebih dititiktekankan pada membangun kontra dan alternative narasi untuk pencegahan ekstremisme.
”dari dua pelatihan tersebut menandakan jika ulama perempuan menjadi basis yang sangat penting dalam pencegahan ekstremisme di masyarakat,” pungkasnya.