Kehidupan beragama tidak lepas dari simbol keberagamaan yang melekat pada kehidupan manusia. Jilbab salah satu simbol perempuan muslim. Lebih lanjut dalam perkembangannya, jilbab kemudian memiliki tafsir yang begitu banyak, termasuk kewajiban seorang perempuan dalam menutup aurat. Tidak hanya itu, dalam perkembangannya jilbab kemudian dilekatkan pada kesalihahn seorang perempuan.
Sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa semakin panjang ukuran jilbab seseorang, maka semakin salihah-lah dia sebagai perempuan. Meskipun demikian, sebagian para ulama bahwa jilbab tidaklah satu-satunya tolok ukur kesalihan perempuan. Sebab banyak sekali aspek lain untuk mengukur hal itu. Selanjutnya, selain jilbab, ada pula cadar. Fenomena bercadar menjadi sebuah masalah baru yang terkadang menjadi polemik dan simbol yang melekat tidak lain adalah terorisme dan lain-lainnya.

Stigma negatif yang muncul demikian dikarenakan sejauh ini para teroris perempuan, ataupun perempuan yang membantu berjalannya aksi-aksi terorisme menggunakan cadar. Hal itulah yang menjadi alasan kuat mengapa orang bercadar itu kerap disebut teroris. Lalu, bagaimana dengan sikap nasionalisme yang dimiliki oleh perempuan bercadar?
Dalam penelitian Ruhayani Dzuhayatin yang berjudul “Islamism and Nationalism Among Niqabis Women in Egypt and Indonesia yang diterbitkan melalui Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies”, menunjukkan bahwa dari 80% hingga 97% dari para perempuan bercadar masih memegang teguh nasionalisme. Meskipun demikian, aspirasi mereka untuk mengadopsi sistem kekhalifahan, yang sedikit di atas 50%.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa para pengguna cadar tidak bisa dikaitkan dengan aksi- aski terorisme, diragukan nasionalismenya. Hal itu menimbulkan kecurigaan yang berkepanjangan terhadap masyarakat secara luas, utamanya tidak tercipta ruang aman terhadap para perempuan bercadar. Lalu bagaimana dengan para millenial yang bercadar? Seperti apa mereka menganggap nilai-nilai religiusitas dalam beragama?
Millenial dan teror radikalisme yang menghantui Berdasarkan hasil survei BNPT yang dipublikasikan pada bulan Desember 2020, 85 persen generasi milenial Indonesia rentan terpapar radikalisme. Data tersebut juga didukung oleh Indonesia Moslem Report 2019 bahwa generasi yang paling rentan terpapar paham radikal adalah generasi younger milenial yakni generasi yang berusia 22-29 tahun. Hal itu dikarenakan mereka masuk dalam kategori puritan dan ultra-konservatif.
Tidak hanya itu, hasil riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) tahun 2019 menunjukkan 52 persen pelajar mendukung radikalisme berbasis agama. Generasi muda yang berusia antara 17 hingga 24 tahun menjadi sasaran paham radikal-ekstrimis. Riset itu juga menunjukkan bahwa media sosial menjadi ladang perekrutan kelompok radikalisme dan terorisme yang terus menghantui.
Dengan adanya data tersebut, cadar yang menjadi pilihan salah satu pakaian millennial menjadi sebuah kesimpulan pendek bahwa mereka terpapar radikalisme. Padahal, kesimpulan pendek tersebut tidak bisa dibenarkan tanpa data yang mendukung. Sisi religiusitas para millenial bercadar Athik Hidayatul Ummah, dalam penelitiannya yang berjudul “Meaning Of The Religiousity Of Millenial Women In Birds In The Middle Of The Radicalism-Terorism Phenomenon” melihat bahwa ada ketertarikat kuat bagi para millenial dalam menggunakan cadar.
Dengan stigma negatif yang menghantui, para millenial dengan rentang umur 22-29 sejumlah 5 orang di Kota Mataram menjadi objek penelitian oleh Athik dalam melihat sisi religiusitas yang ada pada millenial tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa motivasi millenial dalam menggunakan cadar. Dalam motivasi tersebut, terdapat beberapa dimensi religiusitas yang mewakili alasan para millenial dalam bercadar, diantaranya:
Pertama, dimensi eksperiensial (religious feeling) yaitu dimensi yang terkait dengan persoalan yang mampu mengantarkan untuk mencapai pengetahuan subjektif keyakinannya. Dimensi tersebut berkenaan dengan pengalaman, lingkungan komunitas yang diikuti oleh para millenial. Sebab salah satu alasan bercadar tidak lain dorongan dari pengetahuan agama yang diperoleh baik secara offline ataupun online.
Kedua, Dimensi intelektual (religious knowledge) yaitu dimensi yang terkait dengan pengetahuan dan pemahaman agama yang dimiliki oleh seseorang. Hal itu dibuktikan dengan alasan bercadar tidak lain menganggap bahwa menutup aurat adalah wajib, dan bercadar sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan.
Ketiga, Dimensi konsekuensi (religious effect) sebagai konsekuensi atau indikator komitmen religius seseorang, misalnya sejauh mana perilaku individu dalam kehidupan sosial karena dorongan atau motivasi ajaran agamanya. Dimensi konsekuensi ini juga termasuk dalam keputusan untuk menggunakan cadar atau tidak. Dalam penelitian tersebut, ada millenial yang melepaskan cadarnya dengan alasan stigma negatif yang menyertai. Sehingga dengan pengetahuan serta pengalaman yang menyertai, menjadikan hal itu sebagai alasan untuk melepas cadar.
Dengan demikian, sisi religiuasta para pengguna cadar bisa dilihat dari motivasinya dalam menggunakan cadar. Hal itu juga akan berpengaruh terhadap keteguhan dalam menggunakan cadar. Jika para pengguna cadar masih sibuk dengan stigma negatif yang terus menghantui, barangkali motivasi yang menyertai dalam menggunakan cadar belum kuat atas keteguhan yang dimilikinya.