Bersama dengan DASPR, WGWC membangun kerjasama untuk membentengi keluarga dari ekstremisme kekerasan. Agenda ini dinamai sebagai Resilisiensi Keluarga. Dalam proses ini terdapat 2 proses utama. Hal pertama, keyakinan (belief) adalah fondasi dari cara manusia memandang dunia. Kedua, Sistem keyakinan (belief system) adalah poros dari daya tahan (resilience) dan keberfungsian keluarga.
Menurut salah satu penulis modul Keluarga Resilience, Erni Kurniati, pada fase pertama adalah keyakinan mencakup banyak hal. Mulai dari individu memandang dirinya, memaknai pengalamannya, dan mendefinisikan realitas hidup yang ia jalani. Keyakinan menjadi dasar pembentukan nilai, keteguhan, sikap, keberpihakan, hingga asumsi yang memicu respons emosi, keputusan, dan melahirkan tindakan.

Pada fase kedua yaitu Sistem keyakinan, lanjut dia, hal ini mencakup cara pandang keluarga terhadap masalah sangat mempengaruhi bagaimana keluarga yang bersangkutan menangani dan mengatasimasalah yang dihadapi. ”Sistem keyakinan keluarga merupakan fondasi pembentukan makna dan sikap positif individu, sekaligus menjadi bagian esensial bagi terbentuknya relasi transenden dan kekokohan spiritual,” ungkapnya.
Sistem keyakinan ini menjadi titik tolak transformasi. Titik tolak ini mencakup apakah keluarga tersebut dapat mengambil hikmah, beradaptasi, dan bertumbuh di atas segenap kesulitan yang dihadapi. Diungkap olehnya, keluarga dipandang sebagai sebuah organisasi yang hidup berdampingan dengan dunia sosial sebagai organisasi yang lebih besar. Layaknya sebuah organisasi, individu dalam keluarga terhubung satu sama lain dan bersifat saling mempengaruhi.
”Keluarga yang resilien berfungsi sebagai sistem pendukung yang sekaligus juga sebagai penyerap guncangan-guncangan alamiah yang memampukan individu menghadapi berbagai tantangan kehidupan,” terangnya.
Keluarga yang resilien memiliki 3 ciri yaitu fleksibilitas, keterhubungan, dan ketersediaan sumber daya sosial dan ekonomi yang memadai. Di mana, lanjutnya, fleksibilitas mengacu pada kemampuan beradaptasi dengan perubahan serta kemampuan untuk kembali menstabilkan diri usai perubahan situasi. Keterhubungan dalam konteks ini, mengacu pada kuatnya keterkaitan emosional dan struktural antar individu di dalam keluarga.
”Keterhubungan ini memungkinkan organisasi keluarga terus melanggengkan fungsinya yaitu kesediaan untuk saling mendukung, komitmen, dan kerja sama,” pungkasnya.