26.3 C
Jakarta
Minggu, 3 Desember 2023

Kisah Penyintas Hijrah yang Tersesat Jadi Aktivis Khilafah

Pe.nyin.tas: (n) orang yang selamat/mampu bertahan hidup. Sebutan penyintas biasanya disematkan kepada korban bencana alam atau kekerasan. Tetapi, sedikit sekali kita tahu bahwa penyintas juga bisa lho disematkan kepada orang-orang yang berhasil melewati masa-masa kelam kehidupan—masa di mana seseorang kehilangan banyak hal seperti keamanan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri yang mereka miliki. Masa kelam itu lah yang berhasil dilewati Ibu Rida, penyintas hijrah yang akan kita simak kisahnya.

Awal mula Ibu Rida berhijrah terjadi ketika ia memasuki bangku kuliah. Tahun 1991 lalu ia masuk perguruan tinggi dengan jalur prestasi. Ia adalah perempuan muda dengan masa depan yang tampak akan sangat cerah. Seperti mahasiswa baru pada umumnya, ia berkenalan dan dikenalkan dengan kakak tingkat yang terlihat “wah” (berprestasi, IPK tinggi) tapi sangat ramah-ramah. Proses kaderisasi Bu Rida sama sekali tidak tampak mencurigakan. Organisasi yang mengajaknya “hijrah” juga organisasi intra kampus yang sah dan selalu mengajak untuk gemar beribadah dan berdakwah.

Yang mulai terasa ganjal adalah ketika Bu Rida mulai berpindah dari pengajian yang satu ke pengajian lain. Dari yang awalnya jamaahnya banyak, mengerucut jadi sedikit. Pengajian demi pengajian, pelatihan demi pelatihan yang dilewati ternyata berujung pada kewajibanBu Rida mengucap sumpah setia dan loyalitas sempurna pada Lembaga.

Di organisasi hijrah itu, Ibu Rida yang cerdas dan cemerlang beranjak “naik jabatan”. Dari seorang murid, menjadi seorang Pembina. Dari yang diajari menjadi yang mengajari. Dari yang direkrut, menjadi seorang perekrut. “Karirnya” makin moncer hingga akhirnya ia menjadipemimpin perempuan di tingkat kota.

Sekilas, perubahan Ibu Rida yang awalnya mahasiswa biasa sampai menjadi pemimpin di tingkat kota nampak seperti perubahan yang baik dan diinginkan oleh banyak perempuan. Tetapi, justru dalam fase ini lah Ibu Rida menjalani masa kelamnya karena hijrah yang ia lakukan, adalah hijrah yang salah arah. Alih-alih menjadi pribadi yang lebih baik lagi, ibu Rida justru terjebak dalam sebuah ideologi… hijrah yang dijalaninya adalah hijrah yang membuatnya menjadi seorang pendukung khilafah (HTI).

Narasi HTI untuk menarik hati perempuan muda seperti Bu Rida

Dulu sekali di tahun 1991, HTI tampil sebagai sebuah organisasi yang cukup memikat. Kader-kader mahasiswanya terlihat “wah”, perempuan muda dari jurusan-jurusan favorit yang bukan hanya pintar secara akademis, tetapi juga aktif dalam kegiatan-kegiatan politis. Mbak-mbak anggota HTI ini juga memberikan perhatian penuh terhadap calon adik-adik yang hendak mereka rekrut agar mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan kampus yang jauh berbeda dengan masa SMA. Mereka mencarikan kontrakan, meminjamkan buku, dan membantu satu per satu adik-adik maba ketika kesulitan dengan tugas kuliahnya. Jika diperlakukan sebaik itu, siapa yang akan curiga?

Tapi HTI bukan hanya tentang kebaikan hati kader-kadernya, tetapi juga tentang ideologi yang memberikan jawaban atas segala pertanyaan. HTI menawarkan gagasan komprehensif yang tidak didapatkan dari mengikuti organisasi/Gerakan lain. HTI juga membuka ruang bagi perempuan untuk mengambil peran. Perempuan muda yang punya banyak harapan untuk membawa perubahan pasti senang jika segala pertanyaan dalam pikirannya mendapatkan jawaban. Apalagi jika jawaban-jawaban itu selalu disebut bersumber dari Al-Quran.

Yang salah dari Hijrah Khilafah

Ibu Rida yang awal berhijrah memang sangat bergairah untuk berdakwah, namun, setelah cukup lama ada dalam organisasi HTI, ia mulai melihat banyak masalah dalam hijrah yang dijalaninya. Alih-alih semakin berbenah, organisasinya justru membuatnya merasa gelisah. Gagasan yang awalnya terlihat komprehensif dan melawan kemapanan, satu per satu mulai nampak pertentangan antara klaim yang satu dengan klaim lainnya.

Misalnya, menolak dan mengkafir-kafirkan demokrasi tapi secara terang-terangan ikut memanfaatkannya demi kepentingan organisasi. HTI juga semakin takfiri kepada orang-orang yang tidak sepakat tentang ideologi khilafah yang mereka bawa. Muslim yang pemahamannya tidak sampai pada mewajibkan mendirikan khilafah, misalnya, dianggap bukan muslim yang cemerlang. Muslim yang hanya focus pada amal baik keseharian juga dianggap berdosa karena menjauhkan ummat dari permasalahan utama (tidak mendirikan khilafah).

Bukannya menjadi ramah, HTI mengajarkan bu Rida menjadi marah. Di sinilah bu Rida mulai berhenti melangkah dan memikirkan kembali arah hijrah yang ia jalani. Pertemuannya dengan perempuan-perempuan lain, pelajaran-pelajaran baru yang ia dapatkan di pondok pesantren, dan sikap kritisnya akhirnya membawanya menemukan berbagai inkonsistensi dalam ideologi HTI. Berbagai perenungan dan perdebatan yang dijalaninya membawanya kembali meneguhkan hati ke NKRI.

Menjadi penyintas hijrah

Keluar dari HTI tidak serta merta membuat hidup bu Rida menjadi cerah begitu saja. Keputusannya untuk “unhijrah” membuatnya dijauhi orang-orang yang selama ini ia anggap sebagai saudaranya sendiri. HTI memang mengeluarkan surat larangan berinteraksi dakwah dengan bu Rida—larangan yang tanpa pernah bu Rida sangka ditranslasi menjadi larangan untuk berhenti berinteraksi dengan bu Rida sepenuhnya.

Masa kelam masih menyelimutinya cukup lama karena kelompok perempuan di luar HTI juga sempat tidak menerimanya akibat stigma-stigma yang menempel padanya sebagai sorang mantan, sebagai seorang aktivis sayap kanan. Beruntung bu Rida tetap bertahan dan terus berjalan ke depan hingga akhirnya ia kembali menemukan kebermaknaan di tempat di mana ia berkerja sekarang.

Pengalamannya sebagai penyintas membuatnya merasa harus bersuara agar tidak ada lagi perempuan muda mengalami hal yang sama dengan dirinya—menjalani masa kelam yang membuatnya menyia-nyiakan waktu, pikiran, dan tenaganya. Bu Rida tahu sulit menjadi penyintas hijrah, oleh karenanya ia berpesan untuk kita selalu bersolidaritas kepada penyintas, mendampinginya, dan mendengarkan cerita-ceritanya, karena pengalaman mereka adalah pengalaman berharga yang jika dipetik, bisa menyelamatkan perempuan lain yang salah arah ketika berhijrah.

Catatan: Tulisan ini adalah intisari dari WGWC Talk 22 yang bertema, “Tren hijrah di kalangan perempuan Indonesia”.

TERBARU

Konten Terkait