Meningkatnya potensi tindak pidana terorisme di belahan dunia merupakan hal yang tidak dapat disangkal, serta memerlukan penanganan yang serius, baik dalam skala lokal, regional dan internasional. Dampak dari tindak pidana terorisme sudah pasti banyak memakan korban, baik dari kelompok yang disasar mau pun dari pihak pelaku sendiri. Ourworldindata 1 melansir bahwa terjadi peningkatan angka korban meninggal karena terorisme dari tahun 2010, tercatat 7,827 menjadi 44,490 pada tahun 2014.
Pada tahun 2017, secara perhitungan global tercatat korban meninggal karena terorisme berjumlah 26,445. Global Terrorism Data 2 menyatakan bahwa peristiwa terorisme sangat bergantung tren nya secara geografis. Dari total 26,445 korban meninggal secara global, 95% penyebabnya adalah terorisme di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Di tahun 2017, negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara mendominasi tingginya angka tindak pidana terorisme dengan jumlah 3,780 disusul Asia Selatan dengan jumlah 3,430.
Terorisme adalah penggunaan tindakan ancaman dan pemaksaan illegal serta kekerasan oleh aktor non- negara untuk mendapatkan tujuan sosial, keagamaan, ekonomi, dan politik melalui ketakutan, tindak koersif, serta intimidasi 3 . Ini pun terjadi di Indonesia dengan beberapa peristiwa seperti yang dilakukan gerakan Al Jamaah Al Islamiyah yang berdiri sejak tahun 1993 melalui pengeboman Gereja Padang Bulan, Sumatera Utara pada tahun 1998. Lalu, serangan Bom Bali pada tahun 2002 yang dilihat sebagai serangan teror terbesar setelah peristiwa 9/11 di Amerika Serikat.
Tentunya, masih banyak peristiwa terorisme yang terjadi di Indonesia setelahnya, hingga yang terbaru pada tahun 2021 yang terjadi di halaman Gereja Katedral, Makassar. Peristiwa-peristiwa di atas sudah jelas memberikan ketidakstabilan terhadap keamanan negara serta warga negaranya karena potensi kerugian ekonomi serta kematian akan terbayang di depan mata. Penanganan tindak pidana terorisme sudah saatnya tidak hanya bergantung kepada aktor infrastruktur keamanan negara di semua jenjang pemerintahan. Akan tetapi, masyarakat sipil serta infrastruktur pendataan untuk merekam jejak tindak pidana terorisme secara mendalam.
Potensi dan Tujuan Pendataan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Sudah tidak dipungkiri bahwa pendataan tindak pidana terorisme di Indonesia sudah harus dimulai secara terintegrasi. Negara harus dapat menjadi motor utama pendataan tindak pidana terorisme, karena Negara bertanggung jawab untuk memberikan jaminan kestabilan keamanan di lingkungannya serta bagi jaminan keamanan warga negaranya. Sejauh ini, negara telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) 4 sesuai dengan pasal 28 ayat 1.
Daftar ini selalu mengalami pemuktahiran dan dipublikasikan. Di samping itu, beberapa lembaga nirlaba non pemerintahan di Indonesia sudah sering terlibat dalam penelitian serta pendataan kasus-kasus tindak pidana terorisme. The Habibie Centre (THC) melakukannya melalui program Deteksi 5 . THC mengembangkannya sebagai upaya pendataan terorisme dan kontra terorisme di Indonesia. Pertimbangan mengapa THC melakukan pembangunan system pendataan ini adalah mendasarkan bahwa kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan penanganan terorisme.
Sebab, upaya pencegahan harus didasarkan pada data dan informasi yang akurat serta kajian akademis yang memadai. Di samping itu, Center for Detentions Studies Indonesia (CDS) telah merilis Database Geospasial Tindak Pidana Terorisme 6 . Publik dapat mengakses pusat data ini lewat situs www.database.cds.or.id. Database terorisme CDS merupakan pusat data kasus terorisme terbuka di Indonesia yang disusun berdasarkan berkas putusan pengadilan dan hadir untuk membantu proses penegakan hukum, pengambilan kebijakan, serta perkembangan kajian terorisme.
CDS menyajikan informasi melalui rangkuman dalam indeks terorisme dilengkapi data kuantitatif serta visualisasi data dalam grafik. Kendala Pendataan Terorisme Sementara itu juga, tidak berarti proses pendataan mengenai tindak pidana terorisme secara komprehensif dan terintegrasi antar lembaga terkait berjalan lancar, apa lagi jika peristiwanya terjadi sebelum pengesahan UU no 5/ 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 7 . Penyebabnya adalah dokumentasi terbatas serta akurasi data yang membuat proses pendataan lebih sulit. Nur Turyanto, Kepala Seksi Pemulihan Sarana dan Prasarana BNPT mengungkapkannya dalam suatu diskusi daring bekerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) pada 2020 silam.
Namun demikian, diharapkan proses pendataan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat lebih dilakukan lebih mendalam serta saling bekerja sama dengan pihak terkait. Hal ini penting, bukan hanya untuk berkonsentrasi terhadap upaya pencatatan kejadian terorisme semata. Akan tetapi, perlu dilihat bahwa seluruh proses pendataan tindak pidana terorisme memiliki tujuan agar memudahkan pemangku kepentingan terkait untuk melakukan penanggulangan tindak pidana tersebut berbasis data dan inklusif.
Lalu, pendataan juga berguna sebagai sumber informasi untuk menetapkan prioritas serta merancang strategi upaya penanggulangannya. Setelah itu, pendataan tindak pidana terorisme melalui sistem pusat data (database) akan memudahkan informasi secara transparan dapat diakses untuk publik, sehingga upaya penanggulanggannya dapat melibatkan kontribusi mereka di masa depan.
1 https://ourworldindata.org/terrorism#how-many-people-are-killed-by-terrorists-worldwide
2 https://ourworldindata.org/terrorism#which-regions-experience-the-most-terrorism
3 ibid
4 http://www.bappebti.go.id/aktualita/detail/4879
5 https://www.habibiecenter.or.id/deteksi
6 https://aipj.or.id/pages/publication/mau-tahu-database-terorisme-di-ri-cek-di-sini-yah
7 https://www.aida.or.id/2020/07/7311/bnpt-kesulitan-menghimpun-data-korban-terorisme1