33.4 C
Jakarta
Minggu, 10 November 2024

Perempuan dalam Pusaran Terorisme: dari Suporter Sampai Eksekutor

Pelabelan yang melekat dalam diri perempuan memberikan pengaruh bagi peran perempuan di masyarakat, termasuk dalam ranah terorisme atau kekerasan. Stigma perempuan yang dianggap lemah lembut dan anti kekerasan justru tidak menjadikan perempuan terhindarkan dari jaringan terorisme dan kelompok jihadi. Namun itu menjadi peluang dilibatkannya perempuan dalam pusaran terorisme dan ekstremisme.

Awalnya peran perempuan hanya menjadi pendukung atau supporter dalam wilayah terorisme, tidak dimunculkan secara publik. Misalnya; membantu secara finansial atau logistik, melahirkan banyak keturunan untuk kemudian dikaderisasi menjadi pelaku teror, atau menggerakkan kerabat terdekat untuk bergabung bersama kelompok teroris.

Dalam catatan laporan yang dipublikasikan oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang berjudul “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists”, pada tahun 2000, dengan hadirnya internet dan media sosial, peran perempuan menjadi lebih variatif dan bahkan aktif dalam membangun komunitas jihadi, membuat propaganda, mengadakan kajian atau diskusi di ruang online, dan memobilisasi pendanaan untuk proses rekruitmen.

Berangkat dari kemajuan teknologi, peran perempuan dalam pusaran terorisme dan ekstremis mulai berubah. Yang mulanya tidak terlibat dalam jihad qital (perang) dimana perempuan hanya menjadi supporter atau membantu di belakang layar, kemudian aktif terlibat menjadi eksekutor bom bunuh diri atau penyerangan, baik perseorangan maupun bersama pasangan atau bahkan sambil membawa anak-anaknya.

Seperti halnya aksi terror bom yang terjadi di Makassar pada perayaan Paskah awal 2021 kemarin, dilakukan oleh sepasang suami-istri yang baru menikah beberapa bulan. Kemudian teror Surabaya dan Sibolga yang dilakukan oleh ibu sambil membawa anak-anaknya. Peristiwa tersebut membuktikan bahwa peran perempuan dan otoritasnya mulai aktif secara terang-terangan dalam menjalankan aksi teror.

BNPT (Badan Nasional PenanggulanganTerorisme) bahkan mencatat sejak pertengahan tahun 2000 sampai sekarang, ada sekitar 50 perempuan yang terlibat dan memberikan andil yang besar dalam aksi terorisme. Sejumlah perempuan dalam catatan BNPT, diantaranya: tiga istri Nurdin M. Top (dalang dibalik serentetan serangan teror di Indonesia), Putri Munawaroh, Munfiatun dan Arina Rahma. Mereka semua justru melakukan aksi terror secara mandiri.

Selain itu, ada Ika Puspita Sari (otak pelaku Bom Medan), Puji Kuswati (pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya), Ditta Siska Milenia (pelaku penusukan terhadap polisi di Mako Brimob), Dian Yulia Novi (pelaku bom panci di Istana Presiden), Sari Puspitarini (pelaku bom bunuh diri di rumah susunWonocolo, Sidoarjo) dan Zakia Aini (pelaku penembakan aparat polisi di Mabes Polri).

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, perempuan lebih banyak mengambil peran sebagai eksekutor, bahkan menjadi otak di balik aksi-aksi teror di Indonesia. Proses radikalisasi ini berangkat dari ruang lingkup keluarga yang mana dianggap lebih efektif dalam perekrutan kelompok jihadi.

Di samping itu, sistem yang diterapkan dalam perekrutan anggota teroris atau ekstremis adalah dengan konektivitas, bukan kolektifitas. Menurut Dr. Noor Huda, seorang ahli terorisme, mengatakan bahwa kebutuhan konektifitas dengan ideologi jihadi merupakan bagian yang paling penting dari pada menjadi bagian kelompok teroris secara fisik. Hal ini dibuktikan oleh Zakia Aini yang belum teridentifikasi sebagai anggota dari kelompok teroris di Indonesia.

Paham terorisme atau ekstremisme sangat mudah disebarluaskan melalui ruang diskusi online, kajian dengan bertemakan keislaman, berlabelkan komunitas penghafal Al-Qur’an dan bahkan sudah masuk ke dalam dunia pendidikan dengan diiming-imingi beasiswa dengan fasilitas yang menggiurkan. Tentunya, rekruitmen ini tidak hanya diperuntukkan laki-laki saja, tetapi perempuan juga dari kalangan remaja sampai dewasa muda.

Dalam artikel yang berjudul “Why do Indonesian Women Join Radical Groups?” yang ditulis oleh Lies Marcoes di indonesia@melbourne.unimelb.edu.au pada 25 November 2016, ada sebuah prediksi bahwa kontestasi kepentingan perempuan terhadap aksi jihad akan menjadi sama kuatnya dengan yang dimiliki laki-laki, karena mereka meyakini ideologi yang sama.

Adapun faktor internal diantaranya karena terjadi dinamika dan aspirasi yang kuat dari perempuan di lingkar kelompok jihadi, untuk mendapatkan kesempatan dan peran yang sama seperti laki-laki sebagai eksekutor dalam aksi teror. Selain itu, mereka membutuhkan validasi sebagai pelaku terror untuk menyempurnakan aksi jihadnya.

Sedangkan, faktor eksternal dipengaruhi oleh karakter ISIS yang inkonsisten dalam mendefinisikan peran perempuan yang mana lebih mementingkan hasil, tidak memandang gender yang berlaku. Karena pada praktik lapangannya, perempuan lebih mudah mengelabui sektor keamanan, sehingga sulit terdeteksi oleh pihak keamanan itu sendiri.

Oleh karena itu, peran perempuan terbukti sangat menguntungkan dalam pelaksanaan aksi teror di Indonesia. Pergerakan para teroris dan ekstrimis menjadi lebih massif dijalankan dengan partisipasi, kontribusi, peran dan otoritas perempuan yang sudah diperhitungkan dan dilibatkan secara aktif oleh kelompok jihadi.

TERBARU

Konten Terkait