Pada tahun 2021 ini kabar tentang terorisme Ekstremisme berbasis kekerasan kembali menghebohkan tanah air Indonesia. Ada beberapa kasus yang membuat pengertian jihad menjadi salah kaprah. Jihad yang harusnya berperang dalam kebaikan di jalan Allah, malah dialihkan menjadi pengeboman di suatu tempat dan merugikan banyak pihak. Ekstremisme ini kini malah menjadi trend, dan menjadi keadaan yang sangat dikhawatirkan akan semakin meluas. pada 28 Maret 2021, kita semua dikejutkan dengan bom di Gereja Katedral Makassar, yang menewaskan dua pelaku, suami istri, dan mengakibatkan 20 orang luka-luka. Tidak berselang lama, seorang perempuan muda, berinisial ZA berhasil menerobos Mabes Polri dan melancarkan sejumlah tembakan ke arah polisi yang berjaga di pos. Polisi berhasil menembak mati si pelaku.
Dari trend kasus diatas, yang tadinya pelaku kebanyakan laki-laki, kini pelakunya perempuan bahkan anak-anak. Perempuan kini dilibatkan dalam esktremisme yang bahkan berbasis kekerasan. Peran perempuan atau istri yang tadinya hanya berperan sebatas supporting system bagi para pelaku aksi teror, Hadirnya internet dan media sosial tidak saja mengubah nature terorisme itu sendiri, tetapi memberikan ruang seluas-luasnya bagi perempuan untuk mengambil peran-peran yang lebih berani seperti penggalangan dana, rekrutmen, penulis blog, membuka situs perjodohan, dan tentu saja berpeluang besar menjadi aktor utama pengeboman.
Menurut catatan BNPT, sejak pertenganan tahun 2000 sampai sekarang, ada 50 perempuan yang sudah didakwa terlibat aksi terorisme. Dimana perempuan yang biasanya mengambil peran dibelakang layar, kini malah sudah berani menjadi ekstekutor bahkan menjadi otak aksi rencana teror, para perempuan melakukan mobilisasi sosial dengan berbagai cara, diantaranya adalah menjadi istri para pimpinan kelompok. Tidak masalah menjadi istri yang keberapapun, karena bentuk keluarga poligami diyakini oleh kelompok ini sebagai bentuk yang dianjurkan oleh Islam.
AMAN Indonesia melalui policy brief yang ditulis Ruby Kholifah, ingin menjelaskan tentang keterlibatan perempuan dalam aksi teror, menyuguhkan aspek kelemahan PUG dalam kebijakan terkait Penanggulangan Ekstremisme (PE), menawarkan kerangka kerja Resolusi 1325 sebagai cara mendongkrak PUG di tingkat nasional, dan sejumlah rekomendasi kepada sejumlah kementerian dan lembaga yang menjadi sektor utama dalam penanganan ekstrimisme kekerasan. Policy Brief ini tidak membahas tentang konteks perlindungan anak, baik anak sebagai korban terorisme maupun sebagai pelaku.
Dalam policy brief yang ditulis Ruby Kholifah, alasan perempuan terlibat dalam ekstremisme yang pertama karena kuatnya keinginan perempuan dalam mengikuti jihad dengan menjadi eksekutor, kedua keluarga dianggap sebagai basis radikalisme dan perempuan serta anak dianggap menjadi kelompok ekstremisme biasanya dengan menjodohkan laki-laki yang akan menjadi aksi teror dengan perempuan yang juga akan dijadikan pelaku pengeboman. Ketiga, adanya perubahan cara pandang dan bentuk terorisme di Indonesia. Pergeseran trend terorisme ini karena pengaruh hadirnya internet dan media sosial tidak lagi memfokuskan pada aktor laki-laki, tetapi telah mampu meliihat potensi perempuan dan anak-anak menjadi eksekutor.
Keempat, kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam penanggulangan ekstrimisme (PE) kurang optimal. Ada juga aspek keberhasilan operasi keamanan yang membuka peluang perempuan karena kuatnya asumsi perempuan tidak berdosa. Kelima, peran media sosial, internet dan teknologi sebagai enabler (penyubur) radikalisasi telah mengubah cara-cara rekrutment dan propaganda yang semakin meluas dan menjangkau kelompok yang ada di luar radar mereka.
Padahal akan ada dampak trend ekstremisme ini bagi anak dan perempuan, Gencarnya propaganda kelompok ekstrimis yang menawarkan janji-janji manis mulai dari jaminan kesejahteraan dibawah naungan negara Islam, janji mendapatkan uang, janji mendapatkan modal bisnis, jaminan kesehatan cuma-cuma, jaminan jodoh yang baik, dan sejumlah alasan, menyebabkan ribuan orang meninggalkan Indonesia untuk menetap di Syiria dan Irak, yang pada tahun 2014 berhasil menguasai bagian Syria dan mendeklarasikan teritorial “Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)” yang kemudian disingkat Islamic State (IS). BNPT melaporkan ada 1.250 WNI pergi ke Irak dan Syria untuk bergabung dengan ISIS.
Sebagian mereka telah dikembalikan melalui jalur pemerintah maupun secara mandiri kembali ke tanah air. Setelah ISIS dikalahkan, saat ini ada sekitar 600 perempuan dan anak yang masih tersisa di tempat-tempat penampungan. Keberadaan deportan dan returni yang masih memiliki pikiran radikal di tengah masyarakat. Deportan adalah orang yang dikembalikan ke Indonesia sebelum masuk wilayah ISIS. Returni adalah orang yang telah berhasil masuk ke dalam teritori ISIS, tetapi memutuskan kembali ke Indonesia karena menemukan fakta kebohongan ISIS.
Begitu kembali ke Indonesia melalui jalur pemerintah RI, mereka diwajibkan menjalani program deradikalisasi dan rehabilitasi. Untuk kelompok perempuan dan anak di bawah kordinasi Kementerian Sosial melalui Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) “Handayani”. Sementara yang laki-laki menjalani deradikalisasi di dalam LAPAS. Ini karena hampir semua laki-laki diasumsikan terlibat dalam perang ISIS. Fenomena peningkatan radikalisme dan ekstremisme kekerasan di wilayah konflik, mengharuskan sejumlah organisasi pembangun perdamaian, seperti AMAN Indonesia, melakukan bacaan ulang terhadap lapis-lapis kerentanan di tiap wilayah, dan menyimpulkan pentingnya pencegahan ekstremisme kekerasan, agar kerentanan pasca konflik tidak dipakai oleh kelompok teroris untuk memecah belah persatuan atau mengobarkan kembali konflik secara terbuka