Bagaimana kita membandingkan peran perempuan dan laki-laki dalam aksi terorisme? Barangkali kita melihat banyak sekali perbedaan yang cukup signifikan. Teroris yang kita kenal perangainya adalah organisasi laki-laki, aksi maskulin yang kasarm keras. Bahkan tidak manusiawi, lambat laun berubah dan beralih perlahan ketika dimainkan oleh perempuan. Feminisasi jihad menjadi aliran gerakan baru dalam perkembangan aksi teroris di Indonesia.
Kehadiran perempuan dalam lingkaran gerakan terorisme di Indonesia menjadi babak baru yang tidak bisa dicampakkan. Hal ini karena power yang dimiliki oleh perempuan begitu luar biasa. Trend eksistensi perempuan sebagai penggerak aktif dalam aksi pengeboman semakin meningkat. Menurut catatan BNPT yang dilansir melalui Policy Brief Aman Indonesia, sejak pertenganan tahun 2000 sampai sekarang, ada 50 perempuan yang sudah didakwa terlibat aksi terorisme.
Para perempuan yang dimaksud diatas, bisa kita jelajahi jejaknya diantaranya: Putri Munawaroh (istri Nurdin M. Top), Ruqayah binti Husen (istri Umar Patek), Deni Carmelita (istri Pepi Fernando pelaku bom buku dan bom Serpong)Munfiatun (istri kedua Nurdin M. Top) menyembunyikan pelaku aksi terorisme, Inggrid Wahyu Cahyaningsih (istri Sugeng Waluyo yang membantu pelaku teroris Bom Cimanggis), Rasidah binti Subari (istri Husaini bin Ismail (buronan kasus pemboman di Singapura).
Lalu, Ika Puspita Sari yang sempat menjadi sorotan di Indonesia. Karena dia menjadi perempuan pertama yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Selanjutnya, Dewi Anggraini (Istri pelaku bom medan yang dipengaruhi oleh Ika ), Dian Yulia Novi pelaku bom panci istana presiden, Siska Nur Azizah dan Ditta Siska Millenia (pelaku penusukan terhadap polisi di Mako Brimob). Terakhir, Zakia Aini menembak polisi di Mabes Polri, kemudian aksinya dikenal dengan “lone wolf terrorism”.
Para perempuan yang terlibat dalam aski teroris, selain membawa dirinya dalam jurang yang mematikan, mereka secara tidak langsung membawa keluarga, serta orang-orang terdekat masuk dalam jurang yang sama. Apalagi jika mereka memiliki anak yang masih hidup. berbagai perundungan, bullyng serta stigma negatif dari masyarakat membuat masa depannya terancam. Sehingga fenomena ini dapat kita pahami sebagai kesalahan fatal yang merugikan banyak orang.
Dengan konsekuensi logis yang demikian, mengapa trend keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme semakin meningkat? Jika dilihat dari berbagai latar belakang, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi alasan terlibat aksi terorisme. Diantaranya:
1. Dorongan pembuktian dari perempuan jihadi
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran gerakan-gerakan Islam transnasionalis, termasuk terorisme, mencipatakan gebrakan demi gebrakan yang terus digalakkan oleh berbagai kelompok untuk menyebarkan ideologi tersebut. Fenomena tersebut berbanding lurus dengan peran perempuan yang juga menjadi bagian aktif.
2. Keluarga sebagai radikalisasi perempuan dan anak
Faktor ini sebenarnya bukan merupakan hal baru. Basis keluarga menjadi basis yang sangat mengakar. Artinya jika melihat figur seorang ayah sebagai teroris. Narsi agama bahwa ridho suami adalah ridho Allah, menjadi alasan kuat. Sehingga prosesradikalisasi yang terjadi dalam keluarga, menjadi basis gerakan yang cukup ampuh dalam menyebarkan ideologi tersebut.
3. Perubahan trend dalam kelompok ekstremis
Perubahan trend yang dimaksud dalam konteks ini yakni, peran perempuan dalam aksi terorisme ternyata menjadi keunikan tersendiri bagi kelompok teroris. Sebab perempuan dianggap sebagai makhluk yang memiliki keamanan tinggi. Sehingga perannya tidak bisa terlihat secara nyata seperti laki-laki. Perempuan lebih softly. Nilai itulah yang membuat perempuan memiliki kekuatan yang nyata untuk membantu aksi-aksi terorisme.
4. Kebijakan terkait PE belum kuat PUG dan operasi keamanan intensif
Kebijakan dan operasi keamanan untuk mencegah penyebaran ideologi terrorism terhadap perempuan dinilai masih lemah. Apalagi monitoring praktik homeschooling, yang menjadi basis penyebaran ideologi tersebut menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan secara utuh.
5. Media sosial-internet-teknologi menjadi enabler radikalisasi efektif
Tentu kita masih ingat cerita seorang gadis yang bernama Dania, rela berpindah ke negeri paman syam untuk hijrah dan memimpikan Islam kaffah secara betul-betul melalui informasi yang diterima secara mentah di facebook. Janji manis, serta ajaran kaffah yang didengungkan melalui informasi yang tersebar di akun facebook, membuat Dania dan keluarganya berani pindah. Sesampainya disana, justru yang dilihat hanyalah bunyi bom, jihad perempuan adalah menjadi istri sholihah, rela dipoligami, diperbudak, dan lain-lain.
Terakhir, cerita Dania barangkali bisa kita petik, bahwa media sosial memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain dalam perekrutan kelompok teroris. Apalagi semakin berkembangnya waktu, penggunaan media sosial semakin meningkat, menyebabkan arus pergerakan terorisme di media sosial juga semakin tinggi.
Hal ini ditegaskan oleh pihak BNPT bahwa aktifitas virtual yang semakin meningkat, menyebabkan penyebaran pergerakan terorisme di media sosial juga semakin tidak terhalangi. Perempuan menjadi sasaran empuk bagi kelompok teroris untuk berperan aktif menyebarkannya. Dengan demikian, penting untuk menyebarkan kontra narasi sebagai upaya preventif terhadap perempuan Indonesia.