Muslim Indonesia hijrah ke Suriah tak semata didasari itikad berjihad berlandaskan ideologi agama. Melainkan juga karena dijanjikan sejumlah fasilitas yang membangkitkan mereka dari keterpurukan ekonomi. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat 600 orang Warga Negara Indonesia (WNI) berangkat ke Suriah. Jumlah itu meningkat dari tahun 2014, sekitar 350 orang. Sempat terjadi penurunan pada tahun 2016. Jumlah WNI menuju suriah sekitar 383 orang.
Kemudian tren itu naik dua tahun berturut-turut. Di tahun 2017, tercatat mencapai 671 orang. Pada 2018 sebanyak 750 orang. Ada dugaan bahwa mereka yang hijrah menuju Suriah termakan propaganda ISIS dari beragam situs mengandung konten tentang radikalisme. Untuk menekan itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah lakukan blokir banyak situs yang diduga kuat terkoneksi dengan ISIS.

Besarnya gelombang WNI Hijrah ke Irak dan Syria. Gencarnya propaganda kelompok ekstrimis yang menawarkan janji-janji manis mulai dari jaminan kesejahteraan dibawah naungan negara Islam, janji mendapatkan uang, janji mendapatkan modal bisnis, jaminan kesehatan cuma-cuma, jaminan jodoh yang baik, dan sejumlah alasan, menyebabkan ribuan orang meninggalkan Indonesia untuk menetap di Syiria dan Irak, yang pada tahun 2014 berhasil menguasai bagian Syria dan mendeklarasikan territorial.
“Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)” yang kemudian disingkat Islamic State (IS). BNPT melaporkan ada 1.250 WNI pergi ke Irak dan Syria untuk bergabung dengan ISIS. Sebagian mereka telah dikembalikan melalui jalur pemerintah maupun secara mandiri kembali ke tanah air. Setelah ISIS dikalahkan, saat ini ada sekitar 600 perempuan dan anak yang masih tersisa di tempat-tempat penampungan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan akan mempertimbangkan pengembalian anak-anak dibawah 10 tahun.
Meskipun demikian, ancaman nasib WNI yang kehilangan status kewarganegaraan mereka, hidup dalam kondisi tidak menentu, tentu tetap penting dipikirkan oleh pemerintah. Kedua, keberadaan deportan dan returni yang masih memiliki pikiran radikal di tengah masyarakat. Deportan adalah orang yang dikembalikan ke Indonesia sebelum masuk wilayah ISIS. Returni adalah orang yang telah berhasil masuk ke dalam teritori ISIS, tetapi memutuskan kembali ke Indonesia karena menemukan fakta kebohongan ISIS.
Begitu kembali ke Indonesia melalui jalur pemerintah RI, mereka diwajibkan menjalani program deradikalisasi dan rehabilitasi, yang perempuan dan anak di bawah kordinasi Kementerian Sosial melalui Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) “Handayani”. Sementara yang laki-laki menjalani deradikalisasi di dalam LAPAS. Ini karena hampir semua laki-laki diasumsikan terlibat dalam perang ISIS.
Keterbatasan pendanaan dan fasilitas yang dimiliki BRSAMPAK “Handayani” membuat program deradikalisasi dan rehabilitasi dijalankan dengan cepat. Tim Handayani rata-rata membutuhkan waktu sebulan memberikan layanan terapi medis, psikologis dan penyiapan klien reintegrasi ke kampung halaman atau tempat baru. Sejumlah deportan dan returni, kembali kepada jaringan ekstrimis dengan berbagai motivasi, diantaranya masih kuatnya keinginan menegakkan negara Islam.
Pendekatan rehabilitasi yang instan, reintegrasi yang memfokuskan pada klien dan sedikit perhatian pada aspek penerimaan masyarakat, menyebabkan penolakan kuat di masyarakat jika mengetahui bahwa wilayahnya dihuni oleh deportan atau returni. Tetapi bagi yang tidak mengetahui tidak ada reaksi apa-apa. Proses reintegrasi senyap, tanpa diketahui oleh masyarakat menimbulkan kerentanan terjadinya radikalisasi kembali atau radikalisasi baru.
Perempuan dan anak yang sebagian besar terlibat gelombang hijrah karena pengaruh suami, harus menanggung pengucilan. Pendekatan memperkuat penerimaan sosial mampu membantu proses pelepasan secara permanen pada deportan maupun returni dari kelompoknya. Ketiga, banyaknya korban aksi teror yang membutuhkan kompensasi, restribusi, dan bantuan pemulihan jangka panjang. Setidaknya kita mengenal dua jenis korban yaitu korban langsung dan tidak langsung.
Korban langsung adalah korban yang menjadi sasaran terorisme seperti terkena bom, penyiksaan, penculikan, atau pembunuhan. Sedangkan korban tidak langsung adalah keluarga dari korban langsung, masyarakat sekitar kejadian (kasus Sigi, Sibolga, Wonocolo). Dalam kedua status ini, perempuan dan anak-anak jumlahnya cukup besar. Pengalaman hidup baru para korban terorisme seperti bentuk tubuh yang tidak sempurna lagi, hidup dengan pasangan yang disabilitas, hidup sendiri karena pasangan meninggal, hidup tanpa anak-anak, atau hidup dengan trauma kuat, sangat jelas berbeda dialami oleh perempuan dan laki-laki.
Maka penting membaca kondisi korban dalam perspektif gender akan membantu menentukan kebutuhan khusus jangka pendek dan panjang, untuk membantu pemulihan secara komprehensif. Dukungan penguatan kelompok korban akan mampu menghentikan transfer dendam pada generasi selanjutnya. Keempat, para istri dan anak-anak teroris yang ditangkap Densus 88 atau janda teroris. Tidak semua istri dan anak-anak para teroris yang tertangkap atau meninggal dunia terlibat dalam aksi teror.
Ada banyak istri dan anak-anak tidak mengetahui aktifitas illegal suaminya. Mereka baru menyadari ketika Densus 88 melakukan penangkapan. Sebagian istri ditangkap oleh Densus 88 paska aksi teror, karena diduga istri berperan mensukseskan aksi teror yang dilakukan oleh suami. Untuk kategori istri dan anak yang bersih dari tuduhan aksi teror, mereka harus menjalani hidup dengan stigma “penghianat bangsa” karena perbuatan suami. Banyak di kalangan istri napiter yang harus menjadi tulang punggung keluarga.
Mereka rata-rata hidup miskin, berpindah pindah karena penolakan masyarakat, dan membutuhkan dukungan pemerintah dan NGO untuk pemberdayaan ekonomi yang berorientasi pada pelepasan permanen dari pengaruh kelompok mereka. Sebagian mereka mampu membuat suami tidak kembali ke kelompok teroris, meskipun mereka masih memiliki pikiran radikal.