Benarkah pengarusutamaan gender (PUG) dalam penanggulangan ekstremisme lemah? Bagian ini mengulas di mana posisi kebijakan PUG dalam sejumlah kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah dalam merespon tindak pidana terorisme dan ekstremisme kekerasan. Presiden Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, sebagai strategi untuk mencapai tujuan kesetaraan gender. Untuk memastikan PUG dijalankan di semua lembaga kenegaraan di tingkat nasional dan daerah, BAPPENAS, KPPPA dan Kemendagri mengeluarkan sejumlah peraturan dan panduan PUG di berbagai aspek.
Sayangnya, tidak ditemukan kosa kata seperti PUG, gender atau perempuan di dalam sejumlah regulasi seperti UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2002 tenatng Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Konsekuensinya, penjelasan PUG lebih banyak ditafsirkan dengan pelibatan perempuan dalam pencegahan, sementara relasi kuasa tidak setara yang mendorong motivasi perempuan aktif, gender pathways (jejak radikalisasi), sumber-sumber resistensi melawan radikalisasi bersumber pada pengalaman perempuan, dan pengalaman ketidakadilan gender pada korban bom perempuan, belum terungkap maksimal.
Implikasi yang paling besar absennya PUG adalah; pertama, kegagalan mengungkap perbedaan motivasi perempuan dan laki-laki tertarik pada terorisme; kedua, pintu masuk radikalisasi pada perempuan disamakan dengan laki-laki, apalagi jejak radikalisasi pada perempuan tidak dijelaskan secara detil; ketiga, pengalaman latar belakang ketidakadilan gender pada perempuan tidak menjadi unit analisis penting, sehingga hadirnya perasaan “diakui”, “diterima”, “dibebaskan”, sulit dijelaskan; keempat, pendekatan deradikalisasi, rehabilitasi, dan reintegrasi pada laki-laki dan perempuan dilakukan secara umum, padahal pengalamannya keduanya berbeda; kelima, sedikitnya perwakilan perempuan dalam posisi strategis BNPT.
Bahkan KPPPA sebagai institusi pemberdayan perempuan sering ditinggalkan, karena kacamata gender tidak dipakai. PUG secara eksplisit baru ditemukan pada dokumen Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Mengarah pada Terorisme (RAN PE), yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 6 Januari 2021. PUG bisa dikenali melalui dua bagian dalam aturan ini yaitu; menjadi prinsip RAN PE dituliskan secara eksplisit pada lampiran Perpres ini, dan termanifestasikan dalam bentuk program.
Pertama, secara mendasar RAN PE menggunakan prinsip Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya terdapat pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak. Sebagai prinsip, ini artinya bahwa kerja-kerja dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan mengarah terorisme haruslah memperhatikan pentingnya analisis gender, indikator gender, dan pelibatan perempuan di semua intervensi pilar. Kedua, indikator gender bisa dikenali pada aspek program, khususnya pada Pilar Pencegahan yang terdiri dari tiga hal yaitu kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Meskipun masih tipis-tipis, tetapi bahwa ada sejumlah kegiatan yang secara eksplisit mengintegrasikan perspektif perempuan dan anak-anak, termasuk di dalam penanganan.
Sebagai prinsip, tentu saja dokumen program bisa ditafsirkan lagi menjadi lebih detil dalam hal PUG, sesuai dengan indikator gender yang lebih tebal. Terutama diperjelas dalam hal membaca motivasi perempuan dalam keterlibatannya di jaringan ekstremisme, melacak gender pathways dimana pintu masuk-pintu masuk seperti perjodohan dalam perkawinan, perasaan berdosa, krisis identitas, sering dipakai untuk membuka jalan menuju tahapan radikalisme pada perempuan yang lebih mendalam. Dalam konteks analisis gender, juga penting diperhatikan pengalaman khusus ketidakadilan gender, akan memperjelas push and pull factors (faktor pendorong dan penarik) yang mempengaruhi perempuan terlibat.