Sosial media nampaknya menjadi salah satu cara dari para teroris menyebarkan paham yang dia miliki. media sosial penting untuk proses radikalisasi dan rekrutmen. Namun, dalam konteks di Indonesia, media sosial lebih digunakan untuk proses radikalisasi. Perlu diakui, jika Kelompok ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membuat banyak sekali channel.
Dari informasi yang dihimpun, pada 2017 saja, ISIS memiliki lebih dari 60 channel atau kanal Telegram berbahasa Indonesia. Tidak hanya itu, ada juga sekitar 30 grup chat Telegram berbahasa Indonesia. Untuk setiap channel Telegram, ada sekitar 80 hingga 150 pesan bernada kekerasan yang didistribusikan setiap harinya. Apabila dikaitkan dengan jumlah channel terkait ISIS yang ada di Telegram, maka ada ribuan pesan radikal yang beredar setiap harinya.
Peran media sosial, internet dan teknologi sebagai enabler (penyubur) radikalisasi telah mengubah cara-cara rekrutment dan propaganda yang semakin meluas danmenjangkau kelompok yang ada di luar radar mereka. Propaganda romantisme kombatan perempuan di global disosialisasikan secara lebih luas, sehingga menginspirasi perempuan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan sejumlah perempuan kombatan di negara Palestina, Srilangka, Chechnya, Pakistan, dan sejumlah negara-negara yang sedang berkonflik, memberikan inspirasi penyaluran energi dendam.
Citra perempuan kombatan disuguhkan dalam produk-produk propaganda ISIS baik itu berupa tulisan maupun gambar-gambar. Ini juga sekaligus menjawab kegelisahan atas masculinity crisis (krisis maskulinitas), dimana perempuan berpikir banyak laki-laki di kelompok jihadi mulai luntur niat jihadnya, atau mengalami sejumlah kegagalan. Rendahnya kontrol sosial di masyarakat terhadap orang asing yang tinggal di lingkungan sekitar.
Modernisasi yang berpengaruh pada gaya hidup individualis semakin menciptakan jarak dan memberikan ruang teroris untuk mempersiapkan aksi-aksi terornya. Didukung oleh eksklusifitas masyarakat, membuat aksi terror mendapatkan dukungan yang kuat. RT/RW kurang maksimal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penjaga lingkungan agar tetap kondusif serta jauh dari penetrasi ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Rendahnya tingkat literasi pada masyarakat, termasuk pemahaman agama yang tekstual menyebabkan radikalisme subur di Indonesia. Selain mulai redupnya sekolah mengajarkan berpikir kritis, ada kecenderungan merebaknya budaya instan beragama. Populisme di media sosial memperparah penyebaran tafsir agama yang cenderung mengarah kepada konservatisme. Media sosial telah mengganti konsep berpikir “otoritas” pada sebuah keilmuan yang tidak lagi disandarkan pada kedalaman pengetahuan seseorang, tetapi sebanyak apa follower seseorang.
Terbukti, Temuan terbaru BNPT melaporkan bahwa Ustadz Abdul Somad (memiliki cara pandang konservatif, bahkan banyak narasinya bersinggungan dengan narasi teroris) jauh lebih populer dibandingkan dengan Prof. Dr. Quirash Shihab yang memiliki kedalaman ilmu tafsir Al-Quran dan cara pandang yang sangat terbuka. Sosial media menjadi ruang yang sangat mudah untuk menyebarkan paham-paham radikalisme hingga ekstremisme kekerasan.