Kisah Ika Puspitasari yang merupakan buruh migrant indonesia yang berada di Hongkong menjadi kisah yang menarik. Dirinya melakukan baiat kepada ISIS setelah intensif melakukan komunikasi via telegram. Dari kasus Ika kita melihat adanya pola rekrutmen ISIS yang cukup terbuka. Gerakan ekstremisme yang dilakukan oleh gerakan ISIS cukup menarik jika diikuti.
Di mana gerakan ISIS memanfaatkan hadirnya internet dan media sosial yang mengubah “nature” terorisme itu sendiri. Hadirnya ISIS sebagai payung kelompok-kelompok ekstremis seluruh dunia, mampu mengubah cara pandang peran perempuan. Karakter tidak konsisten pada ISIS dan berorientasi pada hasil, membuka ruang-ruang negosiasi yang lebar, terkait dengan peran publik perempuan.

Misalnya saja ISIS tidak melarang perempuan ada di ruang publik atas dasar agama, pendidikan, dan kesehatan sesuai dengan Buku Manifesto tentang perempuan. Ada kelonggaran pada ruang- ruang yang ditentukan untuk perempuan seperti belajar ruang agama, menjadi guru, melayani kesehatan, dan pekerjaan keamanan untuk melindungi perempuan dan anak. Ruang fleksible ini secara perlahan menjadi lebih besar karena dorongan kaum perempuan itu sendiri, dan prestasi perempuan yang bisa mengelabuhi pihak keamanan.
Pergeseran trend terorisme karena pengaruh hadirnya internet dan media sosial tidak lagi memfokuskan pada aktor laki-laki, tetapi telah mampu meliihat potensi perempuan dan anak-anak menjadi eksekutor. Internet dan media sosial memberikan ruang lebih luas bagi perempuan untuk terlibat dalam ruang-ruang chatting eksklusif laki-laki, dengan menyamar. Sehingga proses radikalisasinya lebih cepat karena akses pada pimpinan lebih mudah, dibandingkan sebelumnya.
Pergeseran tren ini juga mengubah pandangan terhadap konstruksi gender menjadi lebih fleksibel, meninggalkan kekakuan cara pandang binari (hitam-putih) terhadap peran perempuan dan laki-laki. Pergeseran makna jihad di kalangan kelompok radikal dari jihad tandim menjadi Jihad fardiah (setiap orang bisa melakukan jihad) & jihad dhafi ’(defensif dari asing). Ini artinya setiap orang baik laki-laki, perempuan dan anak-anak memiliki tanggungjawab yang sama untuk menjalankan amaliyah jihad.
Implikasi dari pergeseran ini adalah mempermudah bagi perempuan untuk menjalankan niat jihadnya dengan cara yang bisa. Apalagi mereka sudah terideologisasi dengan ajaran “Jihad adalah amal tertinggi bagi muslim” secara kuat. Bahkan perempuan tidak lagi memerlukan pengakuan dari kelompoknya untuk melakukan jihad. Asalkan ada konektifitas pada ideologi jihad, maka mereka bisa langsung melakukan aksi teror.
Saat ini identitas kelompok menjadi tidak relevan lagi, manakala seseorang yang percaya tentang amalan jihad sudah bisa belajar bagaimana menjalankan jihad yang paling mungkin. Tumbuhnya kesadaran pada laki-laki di kelompok ekstremis tentang perempuan lebih bisa menyamar jika melakukan aksi teror. Telah banyak kasus terorisme yang pelakunya perempuan berhasil mengelabui pihak keamanan.
Para laki-laki teroris juga sangat sadar bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh perempuan selalu mendapatkan peliputan media yang lebih luas. Ini karena dunia terorisme dianggap maskulin, dilakukan oleh perempuan menjadi kontras dan terkesan berani. Bukankah aksi teror ingin menciptakan ketakutan publik yang luas, sehingga akan menghentikan aktifitas publik.