31.2 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Meneguhkan Perlindungan Perempuan dan Perempuan Pembela HAM dalam Situasi Konflik Bersenjata di Berbagai Negara

Pada Agustus 2021 perhatian dunia tertuju pada negara Afganistan. Hal ini disebabkan rezim Taliban yang dikenal bergaris keras dan intoleran dinyatakan menguasai Afganistan setelah melakukan perang sekitar kurang lebih dua puluh tahun. Penguasaan rezim Taliban atas Afganistan berdampak terhadap menguatnya ketakutan rakyat Afganistan maupun masyarakat global terhadap situasi keamanan negara tersebut dan dunia. Ribuan rakyat Afganistan eksodus dan memohon suaka politik ke berbagai negara di dunia.

Dampak lainnya adalah, suramnya kehidupan perempuan yang ditandai pelanggaran hak-hak asasi perempuan berupa pembatasan akses secara luas terhadap berbagai sumber daya melalui berbagai aturan, perempuan terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan, kehilangkan pekerjaan dan kehilangan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pengekangan, intimidasi, persekusi, cambuk dan pembunuhan mengancam perempuan – perempuan yang terlibat dalam berbagai kegiatan publik. Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) tak pula luput dari ancaman atau teror.

Komnas Perempuan memantau bahwa beberapa kolega PPHAM menggaungkan pentingnya dukungan masyarakat global dan negara-negara dalam memberikan perlindungan terhadap rakyat Afganistan. Kerentanan PPHAM menjadi korban pembunuhan merupakan sinyal agar negara-negara di dunia memberikan dukungan perlindungan khususnya suaka politik. Sarah Kay pengacara HAM yang berbasis di Belfast anggota jaringan pengacara internasional Atlas Women menyatakan bahwa negara-negara barat tidak memprioritaskan aktivis hak asasi manusia dan hukum untuk dievakuasi.

Situasi genting sedemikian juga terjadi di Myanmar. Penguasaan militer atas negara Myanmar membuat kehidupan rakyat Myanmar memburuk. Protes kelompok pro demokrasi membuat para aktivis diburu dan dipenjara. Aksi kelompok pro demokrasi pada 4 Maret 2021 mengakibatkan seorang PPHAM bernama Kyal Sin atau dikenal dengan Angel (malaikat) tewas tertembak saat melakukan aksi demonstrasi menolak penguasaan militer atas Myanmar.

Menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani , hingga saat ini, saat krisis demokrasi menguat banyak PPHAM Myanmar mengalami berbagai kesulitan menjalankan aktivitasnya sementara hak-hak asasi perempuan terus dilanggar.

”Ancaman pembunuhan pun terus digaungkan, membuat ruang gerak PPHAM Myanmar terbelenggu. Suramnya masa depan aktivis dan PPHAM di Afganistan, Myanmar dan negara-negara lain yang mengalami konflik sosial,” ungkapnya.

Hal tersebut menjadi perhatian Komnas Perempuan sebagai lembaga negara hak asasi manusia di Indonesia dengan mandat khusus pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM perempuan. Serta mendorong upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat lokal, regional maupun internasional. Dalam konteks Indonesia, seorang tenaga kesehatan perempuan di Papua bernama nama Suster Gabriella Meiliani meninggal akibat serangan dan pembakaran Puskesmas Kiwirok pada Jumat 17 September 2021.

Serangan tersebut mengakibatkan 10 nakes lainnya mengalami luka-luka. Penyerangan yang mengakibatkan kematian, luka-luka dan menyebar ketakutan terhadap tenaga kesehatan dalam situasi pandemi Covid-19 maupun dalam situasi konflik merupakan aksi kejahatan luar biasa. Tenaga kesehatan merupakan pekerja kemanusiaan yang dibutuhkan dalam berbagai situasi dan seharusnya mendapatkan perlindungan khusus termasuk dalam situasi konflik bersenjata.

”Konvensi Jenewa Pertama tanggal 12 Agustus 1949 menyatakan pentingnya perlindungan terhadap tenaga medis di wilayah konflik. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa melalui UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949,” ungkapnya.

Bertolak dari CATAHU (Catatan Tahunan) 2021 Komnas Perempuan dan memantau berbasis pemberitaan media daring (2018-2021), 15 (lima belas) PPHAM baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam komunitas, dari berbagai sektor yang mengalami kriminalisasi. Sektor-sektor tersebut antara lain sektor sumber daya alam, anti korupsi, kekerasan berbasis gender, buruh, dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination).

Menurut salah satu komisioner Komnas Perempuan Olivia Salampessy, mereka adalah pengacara, pendamping korban, aktivis buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru SMA, Ketua RT. Data ini menunjukkan bahwa PPHAM merupakan kelompok rentan terhadap kriminalisasi justru karena pekerjaannya sebagai pembela HAM, pejuang lingkungan hidup, upah setara dan layak serta anti korupsi.

”Mencermati kerentanan perempuan dan perempuan pembela HAM di berbagai negara yang mengalami konflik maupun di Tanah Air,” katanya.

Dalam rangka peringatan Hari Perdamaian Internasional tanggal 21 September 2021, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya memperkuat cita-cita dunia mewujudkan perdamaian di dalam negeri maupun di antara bangsa-bangsa. Perdamaian mensyaratkan keadilan yang artinya bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, bebas dari ancaman, teror, intimidasi, persekusi serta pembungkaman. Tak ada perdamaian tanpa keadilan dan tak ada keadilan tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi perempuan.

”Oleh karena itu, dalam rangka Hari Perdamaian Internasional 2021, Komnas Perempuan menyatakan 5 hal,” katanya.

Hal pertama, mengecam tindakan pengengkangan, intimidasi, penghukuman dan pembunuhan yang ditujukan kepada perempuan pembela HAM dan Petugas Kesehatan sebagai akibat dalam menjalankan aktivitasnya di negara-negara yang mengalami konflik.

Kedua, mendorong negara-negara khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan solidaritas dan dukungan serta memberikan perlindungan khususnya evakuasi terhadap PPHAM yang mengalami berbagai ancaman dan pembunuhan di negara konflik seperti Afganistan dan Myanmar;

”Ketiga, menyikapi penyerangan yang terjadi di Puskesmas Kiwirik yang mengakibatkan meninggalnya Suster Gabriella Meiliani dan 10 nakes lainnya terluka,” tegasnya.

Serta meminta Pemerintah khususnya Kepolisian Republik Indonesia mengusut secara tuntas kasus penyerangan tersebut, menjamin perlindungan terhadap nakes sebagai pekerja kemanusiaan dalam bekerja di wilayah-wilayah khusus serta memastikan korban dan atau keluarganya mendapatkan santunan, biaya pengobatan dan pemulihan;

Keempat, lanjutnya, mendukung pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mewujudkan pemenuhan perlindungan perempuan pembela HAM dalam menjalankan kerja-kerja kemanusiaan yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan.

”Mendorong negara-negara agar menyerukan penyelesaian konflik bersenjata dan konflik sosial lainnya berpedoman pada Rekomendasi Umum No. 30 CEDAW tentang perlindungan kelompok rentan dan pelibatan perempuan dalam penyelesaian konflik,” pungkasnya.

TERBARU

Konten Terkait