WGWC Talk #11 mengambil tema “Mengapa Siswa Kita Menjadi Radikal?” dengan menghadirkan 3 orang narasumber yang sempat menjadi aktifis rohis di SMA, yaitu Ela,Isnaeni dan Wahyu. Agenda yang dipandu oleh Taufik Nurhidayatullah dihadiri oleh 85 orang peserta. Agenda yang dilakukan melalui zoom ini dilaksanakan pada Kamis (24 September 2020).
Pada sesi pertama ada banyak latarbelakang para narasumber memiliki alasan untuk mengikuti rohis. Ela menuturkan jika dirinya merasa kreatifitas anggota Rohis sangat menarik ketika masuk SMA. Sedangkan Isnaeni mengungkapkan jika dirinya seringkali merasa terasingkan jika berada dengan teman-teman yang lainnya karena penampilannya yang pakaian yang lebih syar’i. Isnaini mencari lingkungan yang bisa menerima dirinya dengan penampilan tersebut. Sedangkan, Wahyu yang berada di lingkungan Islam Kejawen dan sekolah di SMA favorit melihat rohis menjadi organisasi yang menarik.
![Bagaimana Penerapan Moderasi Beragama di Sekolah?](https://womenandcve.id/wp-content/uploads/2021/07/DSC_0989-scaled.jpg)
Namun, ditengah jalan ketiganya melihat ada yang berbeda. Misalkan Ela merasa ada banyak ajaran islam yang cukup ekslusif dibawa oleh para senior. Salah satunya dalam penggunakan jilbab. Serta ketika dirinya ada di dalam rohis, ada beberapa anggota lainnya yang sudah berada di lingkungan HTI. Hingga akhirnya mencari pembenaran lainnya dari seorang guru di sekolah tentang apa yang didapat di lingkungan rohis.
Sedangkan Isnaeni mengikuti agenda peacegen yang mulai merasa tercerahkan dan melihat banyak hal yang lebih berbeda. Menurutnya, rohis menjadi pengalaman berharga untuk dirinya saat ini. Terakhir, Wahyu yang besar mulai merasa ada banyak pemikiran baru ketika dirinya mulai masuk kuliah.
Melihat yang terjadi di narasumber, Senior Officer Media and Kampanye Wahid Foundation, Siti Kholisoh mengungkapkan, jika apa yang terjadi pada narasumber bisa dijadikan social learning. ”Kita tidak perlu membuat framing untuk orang-orang yang keluar dari rohos adalah suatu pertobatan. Kita perlu melakukan 3 aspek,” ungkapnya.
Tiga hal tersebut diantaranya,lanjutnya, hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Kedua, intervensi dari sekolah. Ketiga, melakukan intervensi ke dalam masalaaah yang lebih besar lagi. Saat ini, pemerintah telah merespon hal tersebut melalui kebijakan moderasi beragama. Menurutnya, hal tersebut merupakan terobosan yang baik.
Artinya, lanjut dia, kepekaan itu jalan seorang mencari solusi. Akan tetapi, terdapat tantangan selanjutnya, menerjemahkan dan mengimplementasikan pada kebijakan di sekolah, termasuk memasukan ke lammm perilaku di sekolah. Hal yang lainnya yang perlu dilakukan adalah apa saja yang perlu dilakukan di sekolah. Karena, sekolah memiliki banyak stakeholder.
”Ada guru, kepala sekolah, siswa yang berafiliasi dari berbagai latar belakang. Ynag terpentinga dalah Guru, guru merupakan stakeholder kunci. Apalagi, guru PAI,” ungkapnya.
Untuk para guru, perlu dilakukan peningkatan kapasitas. Tantangan selanjutnya yang akan dihadapi guru akan sangat besar. Guru perlu memiliki perspektif yang sama terkait moderasi beragama di sekolah. Guru akan menjadi banteng utama ketika siswa memiliki ideology intoleransi atau ekstremisme. Selanjutnya, membangun kebijakan di sekolah.
”Bagaimana untuk membatasi anak-anak untuk ikut kegiatan di luar,” pungkas.